Selasa, 13 Januari 2009

Bahasa Indonesia dalam Usaha Persatuan Indonesia

Bahasa Indonesia dalam Usaha Persatuan Indonesia

Dalam kehidupan sehari-hari mulai dari interaksi intrapersonal, interpersonal, maupun yang meluas pada kehidupan berbangsa dan bertanah air, bahasa memegang peran utama. Peran tersebut meliputi bagaimana proses mulai dari tingkat individu hingga suatu masyarakat yang luas memahami diri dan lingkungannya. Sehingga pada saat inilah fungsi bahasa secara umum, yaitu sebagai alat untuk berekspresi, berkomunikasi, dan alat untuk mengadakan integrasi dan adaptasi sosial, memberikan perannya. 
Dalam mengembangkan diri, seorang individu akan berusaha untuk beradaptasi dengan bahasa yang ada di lingkungannya. Penelitian Chomsky tentang gen dan bahasa mengungkapkan bahwa seorang individu memiliki kemampuan alami untuk memahami bahasa secara umum yang akan beradaptasi untuk lebih spesifik memahami bahasa yang digunakan di lingkungannya. Proses adaptasi bahasa dalam seorang individu memandunya untuk mengidentifikasikan dirinya pada kelompok yang memiliki bahasa yang sama dengan dirinya. Maka dari itu proses alamiah tersebut perlahan membentuk ikatan sosial antara individu dengan individu yang lain dalam sebuah kelompok masyarakat.
Proses pengidentifikasian kelompok yang terus berjalan dalam individu membentuk suatu bentuk warna kepribadian. Hal tersebut sesuai dengan kesimpulan Prof. Anthony melalui kajian semantik dan etimologi kata mengenai bahasa yang merupakan cerminan dari watak,sifat, perangai, dan budi pekerti penggunanya. 
Berbeda dengan proses adaptasi bahasa pada individu, dalam tingkatan masyarakat proses adaptasi berjalan lebih kompleks, dengan waktu yang lebih panjang pula. Masyarakat yang merupakan sekumpulan dari individu-individu dalam suatu wilayah tertentu pada awalnya akan membuat kesepakatan-kesepakatan dalam mengungkapkan makna serta berkomunikasi. Selanjutnya proses ini secara terus menerus mengalami perubahan sehingga membentuk suatu sistem, atau yang disebut Hugo Warami sebagai sistem kesepakatan-kesepakatan. Sistem kesepakatan dalam masyarakat ini bukanlah suatu hasil akhir melainkan terus mengalami perubahan sesuai dengan kealamiahan dari berdinamikanya masyarakat beserta individu dalam merespon ransang dari luar. Proses yang berlangsung dalam masyarakat tersebut akan membentuk karakteristik masyarakat seperti warna kepribadian dalam individu.
Salah satu bahasa yang digunakan oleh sebagian masyarakat di dunia adalah bahasa Melayu. Dalam perkembangannya bahasa Melayu berhasil menjadi bahasa yang paling berpengaruh di Asia Tenggara dan satu dari lima bahasa dunia yang mempunyai jumlah penutur terbesar. Melayu merupakan bahasa nasional satu-satunya dari empat Negara: Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura. 
Di Indonesia, bahasa Melayu telah menjadi bahasa yang penting. Peran bahasa Melayu meliputi bahasa persatuan, bahasa nasional, dan bahasa pengantar dalam pendidikan. Menurut Koentjaraningrat, pemilihan bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia secara historis dikarenakan enam hal. Pertama, ber¬kem¬bangnya suasana kesetiakawanan yang mencapai momentum puncak yang menjiwai pertemuan antara pemuda cende¬kiawan Indonesia yang penuh idealisme pada tanggal 28 Oktober 1928. Kedua, adanya anggapan bahwa bahasa Melayu sejak lama me¬rupakan lingua franca, ba¬hasa perdagangan, bahasa komunikasi antarorang Indonesia yang melintas batas sukubangsa, dan bahasa yang digunakan untuk pe¬nyiaran agama. Ketiga, adanya pengaruh media massa dalam bahasa Melayu. Keempat, berkembangnya ke¬biasaan penggunaan bahasa Me¬layu dalam rapat-rapat organisasi gerakan nasional. Kelima, tidak adanya rasa khawatir dalam diri warga suku non-Jawa terhadap risiko terjadinya dominasi kebuda¬yaan dari sukubangsa mayoritas. Keenam, karena para cendekiawan Jawa sendiri mengecam struktur bahasanya sendiri.
Disepakatinya bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan bangsa Indonesia menjadi landasan kokoh bagi terbentuknya integrasi dan identifikasi sosial/nasional. Sebagai salah satu bentuk fisik dari identitas nasional, bahasa Indonesia memiliki potensi untuk mempersatukan rakyat Indonesia. Potensi tersebut dikarenakan bahasa Indonesia memiliki fungsi sebagai bahasa nasional, yaitu sebagai lambang identitas nasional, alat pemersatu berbagai masyarakat yang berbeda-beda kebudayaan, adat istiadat, dan bahasanya; serta sebagai alat perhubungan antardaerah dan antarbudaya.
Tantangan pembentukan identitas nasional melalui bahasa di Indonesia terdiri dari tantangan internal dan eksternal. Secara internal bahasa persatuan ini harus menghadapi realita bahwa Indonesia terdiri dari berbagai bahasa dan budaya. Sehingga dalam proses sosialisasinya bahasa Indonesia harus menuntaskan kegamangan antara menampilkan bahasa Indonesia sebagai bahasa yang dapat digunakan seluruh masyarakat tanpa melenyapkan bahasa daerah. Hal ini diperumit dengan suatu kondisi dimana beberapa bahasa daerah terancam punah diakibatkan sosialisasi bahasa Indonesia yang tidak mengindahkan perawatan bahasa daerah sebagai bahasa ibu yang harus dilestarikan. Sehingga pada daerah yang masih tertinggal, bahasa ibu ditinggalkan karena tidak lebih prestise dibandingkan bahasa Indonesia. Di satu sisi bahasa Indonesia juga harus menghadapi realita bahwa penuturnya sendiri sangat sedikit yang mau mempelajari kaidah bahasa yang baik dan benar. 
Menurut pendapat Amran Halim (lihat Kompas, 8 Maret 1995, halaman 16) setelah 67 tahun BI dikukuhkan sebagai bahasa persatuan, situasi kebahasaan ditandai oleh dua tantangan. Tantangan pertama, yakni perkembangan bahasa Indonesia yang dinamis, tetapi tidak menimbulkan pertentangan di antara masyarakat. Pada saat bersamaan bangsa Indonesia sudah mencapai kedewasaan berbahasa. Sekarang tumbuh kesadaraan secara emosional bahwa perilaku berbahasa tidak terkait dengan masalah nasionalisme. Buktinya, banyak orang yang lebih suka memakai bahasa Asing, demikian Amran Halim. 
Tantangan kedua, yakni persoalan tata istilah dan ungkapan ilmiah. Tantangan kedua ini yang menimbulkan prasangka yang tetap diidap ilmuwan kita yang mengatakan bahwa bahasa Indonesia miskin, bahkan kita dituduh belum mampu menyediakan sepenuhnya padanan istilah yang terdapat dalam banyak disiplin ilmu, teknologi, dan seni. Menurut Moeliono (1991: 15) prasangka itu bertumpu pada pendirian apa yang tidak dikenal atau diketahui, tidak ada dalam bahasa Indonesia. 
Selain tantangan internal seperti di atas, bahasa Indonesia juga harus menghadapi gempuran dari bahasa asing. Hal yang serupa dengan tantangan internal mengenai bahasa daerah, bahasa Indonesia oleh sebagian masyarakat dipandang tidak lebih prestise dibandingkan dengan bahasa asing. Hasilnya penggunaan kaidah bahasa Indonesia tidak banyak menjadi sorotan penting. Percampuran antara bahasa Indonesia dan bahasa asing menjadi sesuatu yang lumrah. Bahasa gaul mulai merebak di masyarakat, bahkan yang berpendidikan tinggi hingga pejabat dan media massa. Jika hal ini terus dibiarkan maka bahasa Indonesia akan menjadi minoritas dan punya istilah “tamu di rumahnya sendiri”. 
Saat ini tantangan terhadap bahasa Indonesia, baik internal maupun eksternal, merupakan hal yang tidak hanya mengancam eksistensi bahasa Indonesia. Konsekuensi ancaman tersebut tidak hanya sebatas mengancam eksistensi bahasa Indonesia, namun menjadi sangat penting karena berkaitan dengan bahasa sebagai identitas dan kepribadian bangsa. Jika dihayati dari prosesnya, awalnya masyarakat merubah gaya bahasanya lalu mempengaruhi tingkah lakunya sehingga akan mengalami kegamangan norma dan kepribadian berkaitan dengan identitas sosial. Fenomena tingginya angka kriminalitas dan kenakalan remaja menjadi sebuah bukti dari kegamangan tersebut. Hal itu tidak terlepas dari pandangan manusia sebagai substansi dan manusia sebagai makhluk yang mempunyai identitas (Verhaar, 1980: 11).
Kemudian kegamangan kepribadian tersebut membuat kesadaran bersatu meluntur. Tantangan disintegrasi bangsa semakin tinggi. Fenomena tawuran antar desa hingga antar suku merupakan salah satu jawaban yang dapat menyingkap kurang mengakarnya peran bahasa Indonesia sebagai penyatu bangsa. Dalam konteks kesadaran bersatu inilah kita dapat belajar dari kepemimpinan Orde Baru dalam mengopinikan “persatuan” meskipun caranya yang represif harus di evaluasi.
Selama ini usaha untuk menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan sudah banyak dilakukan. Hal ini terlihat dari mulai membaiknya badan perencanaan bahasa yang ada di Indonesia. Bahkan badan tersebut berjejaring dengan badan perencanaan di Malaysia dan Brunei, karena sama-sama berbahasa Melayu, yang sudah melakukan berbagai penelitian dan melakukan perencanaan internasional. Namun usaha tersebut masih dalam tataran struktural dan politis, belum merambah “akar rumput” yang merupakan basis kultural dan mengakar. Kesadaran dari pemerintah, media, dan masyarakat terhadap konsep bahasa persatuan masih rendah. Usaha para budayawan dan ahli bahasa Indonesia belum didukung penuh oleh kebijakan strategis dan merakyat dari pemerintah. Ditambah lagi peran media yang semakin luas tidak diimbangi oleh usaha sosialisasi bahasa Indonesia yang baik dan benar membuat masyarakat kini lebih merespon stimulasi dari asing serta semakin jauh dari kaidah berbahasa yang benar. Bukannya masyarakat harus tertutup dari pengaruh asing, namun kemampuan untuk menyaring informasi, gaya bahasa, dan perilaku inilah yang menjadi pokok masalah terjadinya kegamangan identitas.
Dinamika antara potensi dan tantangan atau realita yang dialami bahasa Indonesia saat ini merupakan suatu data yang dapat dijadikan sumber prediksi bagi eksistensi bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan di masa depan. Dalam konteks bahasa Melayu, Collins menyatakan bahwa peran bahasa Melayu akan semakin berkembang, baik di kawasan Asia Tenggara maupun di belahan bumi yang lain. Di luar Asia Tenggara bahasa Melayu dipelajari di delapan Negara Eropa dan dua Negara di Amerika. Jumlah penutur bahasa Melayu dalam waktu dekat ini akan terus meningkat. Hal ini akan meningkatkan prestise di kalangan para penuturnya yang kemudian akan mempengaruhi sikapnya untuk lebih positif terhadap bahasa Melayu. Terlebih menurut prediksi dari Collins, pengaruh bahasa Inggris belum begitu jelas di Asia Tenggara pada masa depan.
Pengaruh secara global bahasa Melayu tersebut tentunya akan juga berpengaruh di Indonesia meskipun akan membutuhkan proses yang sangat lama. Pengaruh tersebut berkaitan juga tingkat kesadaran pemerintah, media, dan masyarakat Indonesia tentang pentingnya bahasa Indonesia sebagai pemersatu. Kesadaran ini tidak hanya pada bagian luar pemahaman saja, namun selayaknya menjadi penghayatan dan pengidentifikasian seluruh masyarakat sebagai satu bangsa.

REFERENSI
Buku
Badudu, J. S. 1996. Bahasa Indonesia: Anda Bertanya? Inilah Jawabannya. Bandung: Pustaka Prima
Collins, James. 2005. Bahasa Melayu Bahasa Dunia : Sejarah Singkat. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. 
Malna, Afrizal. 2000. Sesuatu Indonesia. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.
Media Massa
Kompas, Senin, 10 September 2007. Bahasa Indonesia Merekat Bangsa. Oleh: Dendy Sugono (Kepala Pusat Bahasa) 
Situs
http://article.melayuonline.com/?a=b1BQL3FMZVZBUkU4Ng%3D%3D=
Bahasa Melayu, Bahasa Nasional, dan Bahasa Jawa. Oleh: Prof. DR. Koentjaraningrat. http://article.melayuonline.com/?a=bU5xL3FMZVZBUkU4Ng%3D%3D=
Bahasa Indonesia sebagai Identitas dan Penyatu Bangsa Menghadapi Pengubah Sosial. Oleh : Mansoer Pateda (IKIP Gorontalo).
http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Indonesia
Bahasa Indonesia.
http://www.bappenas.go.id/index.php?module=ContentExpress&func=display&ceid=1478 
Kebudayaan Nasional Indonesia: Penataan Pola Pikir. Oleh : Meutia Farida Hatta Swasono. 
http://www.globalkomputer.com/Bahasan/Teori-Bahasa-dan-Otomata
Teori Bahasa dan Otomana
http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/2000/10/28/0001.html
Sumpah Pemuda dan Manifesto Politik 1925. Oleh : Asvi Warman Adam. http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/1003/30/03×1.htm
http://www.republika.co.id/cetak_berita.asp?id=293165&kat_id=105&edisi=Cetak
Eksistensi Bahasa Indonesia dan Sumpah Pemuda. Oleh : Neulis Rahmawati Barlian, S.Pd http://re-searchengines.com/0805hugo.html
Bahasa dan Sastra Indonesia Masih Banyak Peminat http://rumahkiri.net/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=1193
Asal Usul Engdonesian. Oleh : Ariel Heryanto. http://www.suarapembaruan.com/News/2005/10/23/Utama/ut01.htm
Bahasa Campur Aduk. Diunduh pada tanggal 23 Januari 2008, pukul 13.44





BAHASA DAN SASTRA SEBAGAI IDENTITI BANGSA DALAM PROSES GLOBALISASI 
Prof. Dr. Mursal Esten 
Pendahuluan 
Kita tengah memasuki abad XXI. Abad ini juga merupakan milenium III perhitungan Masehi. Perubahan abad dan perubahan milenium ini diramalkan akan membawa perubahan pula terhadap struktur ekonomi, struktur kekuasaan, dan struktur kebudayaan dunia. 
Fenomena paling menonjol yang tengah terjadi pada kurun waktu ini adalah terjadinya proses globalisasi. Proses perubahan inilah yang disebut Alvin Toffler sebagai gelombang ketiga, setelah berlangsung gelombang pertama (agrikultiur) dan gelombang kedua (industri). Perubahan yang demikian menyebabkan terjadinya pula pergeseran kekuasaan dari pusat kekuasaan yang bersumber pada tanah, kemudian kepada kapital atau modal, selanjutnya (dalam gelombang ketiga) kepada penguasaan terhadap informasi (ilmu pengetahuan dan tekhnologi). 
Proses globalisasi ini lebih banyak ditakuti daripada dipahami untuk kemudian diantisipasi dengan arif dan cermat. Oleh rasa takut dan cemas yang berlebihan itu, antisipasi yang dilakukan cenderung bersifat defensif membangun benteng-benteng pertahanan dan merasa diri sebagai objek daripada subjek di dalam proses perubahan. 
Bagaimana dengan bahasa dan sastra? Apakah yang terjadi dengan bahasa dan sastra Indonesia di dalam proses globalisasi? Apakah yang harus dilakukan dan kebijakan yang bagaiman yang harus diambil dalam hubungan sastra Indonesia dalam menghadapi proses globalisasi atau di dalam era pasar bebas? 
Mitos Tentang Globalisasi 
Mitos yang hidup selama ini tentang globalisasi adalah bahwa proses globalisasi akan membuat dunia seragam. Proses globalisasi akan menghapus identitas dan jati diri . Kebudayaan lokal dan etnis akan ditelan oleh kekuatan budaya besar atau kekuatan budaya global. 
Anggapan atau jalan pikiran yang demikian tidak sepenuhnya benar. Kemajuan teknologi komunikasi memang telah membuat batas-batas dan jarak menjadi hilang dan tidak berguna. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknolgi telah membuat surutnya peranan kekuasaan ideologi dan kekuasaan negara. Akan tetapi, Jhon Naisbitt dalam bukunya Global Paradox memperlihatkan hal yang justru bersifat paradoks dari fenomena globalisasi. Di dalam bidang ekonomi, misalnya, Naisbitt mengatakan "Semakin besar dan semakin terbuka ekonomi dunia, semakin perusahaan-perusahaan kecil dan sedang akan mendominasi". Ia di dalam bukunya itu juga mengemukakan pokok-pokok pikiran lain yang paradoks sehubungan dengan masalah ini. "Semakin kita menjadi universal, tindakan kita semakin bersifat kesukuan", "berfikir lokal, bersifat global." Ketika bahasa Inggris menjadi bahasa kedua bagi semua orang, bahasa pertama, bahasa ibu mereka, menjadi lebih penting dan dipertahankan dengan lebih giat. 
Dari pernyataan Naisbitt itu, kalau kita mempercayai, proses globalisasi tetap menempatkan masalah lokal ataupun masalah etnis (tribe) sebagai masalah yang penting yang harus dipertimbangkan. Dalam bukunya yang lain Megatrends 2000, Naisbitt juga mengatakan bahwa era yang akan datang adalah era kesenian dan era pariwisata. Orang akan membelanjakan uangnya untuk bepergian dan menikmati karya-karya seni. Peristiwa-peristiwa kesenian yang akan menjadi perhatian utama dibandingkan peristiwa-peristiwa olahraga yang sebelumnya lebih mendapat tempat. 
"Berpikir lokal, bertindak global", seperti yang dikemukakan Naisbitt itu, pastilah akan menempatkan masalah bahasa dan sastra, khususnya bahasa dan sastra Indonesia, sebagai sesuatu yang penting di dalam era globalisasi. Proses berpikir tidak akan mungkin dilakukan tanpa bahasa. Bahasa yang akrab untuk masyarakat (lokal) Indonesia adalah bahasa Indonesia. Proses berpikir dan kemudian dilanjutkan proses kreatif, proses ekspresi, akan melahirkan karya-karya sastra, yakni karya sastra Indonesia. 
Perkembangan Bahasa dan Sastra Indonesia 
Di dalam sejarahnya, bahasa Indonesia telah berkembang cukup menarik. Bahasa Indonesia yang tadinya hanya merupakan bahasa Melayu dengan pendukung yang kecil telah berkembang menjadi bahasa Indonesia yang besar. Bahasa ini telah menjadi bahasa lebih dari 200 juta rakyat di Nusantara Indonesia. Sebagian besar di antaranya juga telah menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama. Bahasa Indonesia yang tadinya berkembang dari bahasa Melayu itu telah "menggusur" sejumlah bahasa lokal (etnis) yang kecil. Bahasa Indonesia yang semulanya berasal dari bahasa Melayu itu bahkan juga menggeser dan menggoyahkan bahasa etnis-etnis yang cukup besar, seperti bahasa Jawa dan bahasa Sunda. Bahasa Indonesia telah menjadi bahasa dari masyarakat baru yang bernama masyarakat Indonesia. Di dalam persaingannya untuk merebut pasar kerja, bahasa Indonesia telah mengalahkan bahasa-bahasa daerah yang ada di Indonesia. Bahasa Indonesia juga telah tumbuh dan berkembang menjadi bahasa yang modern pula. 
Perkembangan yang demikian akan terus berlanjut. Perkembangan tersebut akan banyak ditentukan oleh tingkat kemajuan masyarakat dan peranan yang strategis dari masyarakat dan kawasan ini di masa depan. Diramalkan bahwa masyarakat kawasan ini, yaitu Indonesia, Malasyia, Thailand, Vietnam, Brunai Darussalam, dan Filipina akan menjadi salah satu global-tribe yang penting di dunia. Jika itu terjadi, bahasa Indonesia (lebih jauh bahasa Melayu) juga akan menjadi bahasa yang lebih bersifat global. Proses globalisasi bahasa Melayu (baru) untuk kawasan Nusantara, dan bahasa-bahasa Melayu untuk kawasan Asia Pasifik (mungkin termasuk Australia) menjadi tak terelakkan. Peranan kawasan ini (termasuk masyarakatnya, tentu saja) sebagai kekuatan ekonomi, industri dan ilmu pengetahuan yang baru di dunia, akan menentukan pula bagaimana perkembangan bahasa Indonesia (dan bahasa Melayu) modern. Bahasa dan sastra Indonesia sudah semenjak lama memiliki tradisi kosmopolitan. Sastra modern Indonesia telah menggeser dan menggusur sastra tradisi yang ada di pelbagai etnis yang ada di Nusantara. 
Perubahan yang terjadi itu tidak hanya menyangkut masalah struktur dan bahasa, tetapi lebih jauh mengungkapkan permasalahan manusia baru (atau lebih tepat manusia marginal dan tradisional) yang dialami manusia di dalam sebuah proses perubahan. Lihatlah tokoh-tokoh dalam roman dan novel Indonesia. Lihatlah tokoh Siti Nurbaya di dalam roman Siti Nurbaya, tokoh Zainudin di dalam roman Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, tokoh Hanafi di dalam roman Salah Asuhan, tokoh Tini, dan Tono di dalam novel Belenggu, sampai kepada tokoh Lantip di dalam roman Priyayi. Mereka adalah tokoh-tokoh yang berusaha masuk ke dunia yang baru, dunia yang global, dengan tertatih-tatih. 
Dengan demikian, satra Indonesia (dan Melayu) modern pada hakikatnya adalah sastra yang berada pada jalur yang mengglobal itu. Sebagaimana dengan perkembangan bahasa Indonesia, sastra Indonesia tidak ada masalah dalam globalisasi karena ia memang berada di dalamnya. Yang menjadi soal adalah bagaimana menjadikan bahasa dan sastra itu memiliki posisi yang kuat di tengah-tengah masyarakatnya. Atau lebih jauh, bagaimana langkah untuk menjadikan masyarakatnya memiliki posisi kuat di tengah-tengah masyarakat dunia (lainnya). 
Kalau merujuk kepada pandangan-pandangan Alvin Toffler atau John Naisbitt, dua peramal masa depan tanpa bola-bola kristal, bahasa Indonesia dan sastra Indonesia akan menjadi bahasa (dan sastra) yang penting di dunia. 
Politik Bahasan dan Politik Sastra 
Proses globalisasi kebudayaan yang terjadi mengakibatkan berubahnya paradigma tentang "pembinaan" dan "pengembangan" bahasa. Bahasa Indonesia pada masa depan bukan hanya menjadi bahasa negara, melainkan juga menjadi bahasa dari suatu tribe (suku) yang mengglobal. Bahasa tersebut harus mampu mengakomodasikan perubahan-perubahan dan penyesuaian-penyesuaian yang mungkin dihadapi. Mekanisme pembinaan dan pengembangan tidaklah ditentukan oleh suatu lembaga, seperti Pusat Bahasa, tetapi akan amat ditentukan oleh mekanisme "pasar". Pusat Bahasa tidak perlu terlalu rewel dengan "bahasa yang baik dan benar". Politik bahasa yang terlalu bersifat defensif harus ditinggalkan. 
Di dalam kehidupan sastra juga diperlukan suatu politik sastra. Sastra Indonesia harus lebih dimasyarakatkan, tidak saja untuk bangsa Indonesia, tetapi juga untuk masyarakat yang lebih luas. Penerbitan karya-karya sastra harus dilakukan dalam jumlah yang besar. Sekolah-sekolah dan perguruan tinggi semestinya menjadi tempat untuk membaca karya-karya sastra. Pengajaran sastra haruslah menjadikan karya-karya sastra sebagai sumber pengajaran. 
Di dalam proses globalisasi, posisi yang harus diambil bukan sebagai objek perubahan, melainkan harus menjadi subyek. Bahasa dan sastra (Indonesia) amat potensial menjadi bahasa dan sastra yang diperhitungkan di dalam dunia global. 
Jika dunia Melayu (dan Indonesia) akan hadir sebagai salah satu global-tribe di dunia dan kawasan Asia Pasifik, bahasa dan sastranya harus juga berkembang ke arah itu. Bahasa Melayu (dan Indonesia) harus siap menerima peranan yang demikian. Sastra Indonesia harus tetap menjadi sastra yang unik di tengah-tengah dunia yang global. Bahasa dan sastra Indonesia (Melayu) harus mampu menjadikan kekuatan budaya (global-trible) yang baru itu. Untuk itu, diperlukan suatu politik bahasa ( dan sastra) yang terbuka, bukan bersifat defensif. 
Padang, 29 Agustus 2002 






















PERAN BAHASA INDONESIA DAN DAERAH DALAM PEMBANGUNAN DI ERA OTONOMI DAERAH
Hilaluddin Hanafi

ABSTRAK 
Bahasa Indonesia memiliki peran penting di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Peran tampak di dalam kehidupan bermasyarakat di berbagai wilayah tanah tumpah darah Indonesia. Komunikasi perhubungan pada berbagai kegiatan masyarakat telah memanfaatkan bahasa Indonesia di samping bahasa daerah sabagai wahana dan piranti untuk membangun kesepahaman, kesepakatan dan persepsi yang memungkinkan terjadinya kelancran pembangunan masyarakat di berbagai bidang 
Bahasa Indonesia sebagai milik bangsa, dalam perkembangan dari waktu ke waktu telah teruji keberadaannya, baik sebagai bahasa persatuan maupun sebagai resmi negara. Adanya gejolak dan kerawanan yang mengancam kerukunan dan kesatuan bangsa Indonesia bukanlah bersumber dari bahasa persatuannya, bahasa Indonesia yang dimilikinya, melainkan bersumber dari krisis mutidimensional terutama krisis ekonomi, hukum, dan politik, serta pengaruh globalisasi. Justeru, bahasa Indonesia hingga kini menjadi perisai pemersatu yang belum pernah dijadikan sumber permasalahan oleh masyarakat pemakainya yang berasal dari berbagai ragam suku dan daerah. 
Hal ini dapat terjadi, karena bahasa Indonesia dapat menempatkan dirinya sebagai sarana komunikasi efektif, berdampingan dan bersama-sama dengan bahasa daerah yang ada di Nusantara dalam mengembangkan dan melancarkan berbagai aspek kehidupan dan kebudayaan, termasuk pengembangan bahasa-bahasa daerah. Dengan demikian bahasa Indoensia dan juga bahasa daerah memiliki peran penting di dalam memajukan pepmbangunan masyarakat di dalam berbagai aspek kehidupan. Peran bahasa Indonesia dan bahasa daerah semakin penting di dalam era otonomi daerah.
Penyelenggaraan otonomi daerah yang dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, akan mendorong dan menumbuhkan prakarsa dan kreativitas daerah. Hal ini tercermin dari kewenangan-kewenangan yang telah diserahkan ke daerah dalam wujud otonomi yang luas, nyata, dan tanggung jawab. Dengan prinsip tersebut diharapkan dapat mengakselarasi pencapaian tujuan yang telah direncanakan dalam pembangunan masyarakat.












Bahasa Indonesia memiliki peran penting di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Peran tampak di dalam kehidupan bermasyarakat di berbagai wilayah tanah tumpah darah Indonesia. Komunikasi perhubungan pada berbagai kegiatan masyarakat telah memanfaatkan bahasa Indonesia di samping bahasa daerah sabagai wahana dan piranti untuk membangun kesepahaman, kesepakatan dan persepsi yang memungkinkan terjadinya kelancaran pembangunan masyarakat di berbagai bidang.
Bahasa Indonesia sebagai milik bangsa, dalam perkembangan dari waktu ke waktu telah teruji keberadaannya, baik sebagai bahasa persatuan maupun sebagai resmi negara. Adanya gejolak dan kerawanan yang mengancam kerukunan dan kesatuan bangsa Indonesia bukanlah bersumber dari bahasa persatuannya, bahasa Indonesia yang dimilikinya, melainkan bersumber dari krisis mutidimensional terutama krisis ekonomi, hukum, dan politik, serta pengaruh globalisasi. Justru, bahasa Indonesia hingga kini menjadi perisai pemersatu yang belum pernah dijadikan sumber permasalahan oleh masyarakat pemakainya yang berasal dari berbagai ragam suku dan daerah. 
Hal ini dapat terjadi, karena bahasa Indonesia dapat menempatkan dirinya sebagai sarana komunikasi efektif, berdampingan dan bersama-sama dengan bahasa daerah yang ada di Nusantara dalam mengembangkan dan melancarkan berbagai aspek kehidupan dan kebudayaan, termasuk pengembangan bahasa-bahasa daerah. Dengan demikian bahasa Indoensia dan juga bahasa daerah memiliki peran penting di dalam memajukan pembangunan masyarakat di dalam berbagai aspek kehidupan. 
Peran bahasa Indonesia dan bahasa daerah semakin penting di dalam era otonomi daerah. Penyelenggaraan otonomi daerah yang dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, akan mendorong dan menumbuhkan prakarsa dan kreativitas daerah. Hal ini tercermin dari kewenangan-kewenangan yang telah diserahkan ke daerah dalam wujud otonomi yang luas, nyata, dan tanggung jawab. Dengan prinsip tersebut diharapkan dapat mengakselarasi pencapaian tujuan yang telah direncanakan dalam pembangunan masyarakat. 
Berdasarkan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota mencakup semua kewenangan pemerintahan, kecuali kewenangan bidang politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain yang bersifat lintas kabupaten/kota. Kewenangan kabupaten/kota meliputi bidang pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi dan tenaga kerja. 
Pengembangan Bahasa, termasuk sastra berhubungan dengan kewenangan pemerintahan di Bidang Pendidikan dan Kebudayaan, baik yang dimiliki pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Kewenangan pemerintah pusat berupa penyediaan standar, pedoman, fasilitas dan bimbingan dalam rangka pengembangan bahasa dan sastra. Sedangkan kewenangan untuk penyelenggaraan kajian sejarah dan nilai tradisionil serta pengembangan bahasa dan budaya daerah merupakan bagian dari kewenangan provinsi. 
Oleh karena bahasa dan sastra daerah pada dasarnya berkembang dari masyarakat di desa-desa, kampung-kampung serta kelompok masyarakat tradisional yang secara kewilayahan berada dalam wilayah kabupaten/kota, maka mulai di kabupaten/kota dilakukan kegiatan operasional pengembangan bahasa dan sastra daerah. Di tingkat nasional sudah ada Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional sebagai lembaga yang mendapat mandat dari pemerintah untuk melakukan perencanaan bahasa. Pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota dibentuk lembaga perpanjangan penyelenggaraan Pusat Bahasa berupa balai atau kantor bahasa yang berfungsi untuk membina dan mengembangkan bahasa dan sastra. Penyelenggaraan kegiatan pada lembaga bahasa di tingkat provinsi/kabupaten ini terkait langsung dengan rangkaian penyelenggaraan pendidikan dan kebudayaan. 
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Era Otoda Pembinaan dan pengembangan bahasa pada era otoda seharusnya semakin mendapat tempat yang penting, karena era otoda memerlukan, sumberdaya manusia yang berkualitas, akselerasi manajemen yang tepat, masyarakat yang peduli, dan keterhubungan pihak lain secara komunkatif. Keseluruhan unsur tadi berkaitan langsung dengan bahasa sebagai piranti utama dalam berinteraksi. 
Perubahan sistem pemerintahan negara dari sentralistik menjadi desentralistik yang diwujudkan melalui sistem otonomi daerah memberikan peluang dan tantangan bagi upaya pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia. Bahasa mengalami perubahan sejalan dengan perubahan yang terjadi di dalam masyarakat penuturnya. Bahasa digunakan sebagai sarana ekspresi dan komunikasi dalam kegiatan kehidupan manusia, seperti dalam bidang kebudayaan, ilmu, dan teknologi.. Seiring dengan perkembangan zaman, kebudayaan dan ilmu serta teknologi berkembang sedemikian rupa. Bahasa Indonesia pun berkembang mengikuti perkembangan tersebut. Pesatnya perkembangan kebudayaan, ilmu dan teknologi di dunia Barat membawa pengaruh terhadap perkembangan bahasa Indonesia, khususnya di bidang kosakata/ peristilahan. 
Di samping itu, luas wilayah pemakaian (tersebar dipulau-pulau yang secara geografis terpisahkan dengan oleh laut) dan besarnya jumlah penutur yang berlatar belakang (bahasa daerah dan kebudayaannya), memungkinkan terjadinya perubahan-perubahan di tiap-tiap daerah yang lama kelamaan akan berkembang menjadi dialek tersendiri. Oleh karena itu, perlu diadakan kontak terus menerus antara daerah yang satu dan daerah yang lain untuk menjaga keutuhan bahasa Indonesia. Perkembangan bahasa Indonesia itu harus diarahkan menuju ragam bahasa baku. 
Selanjutnya, ada beberapa dasar pembinaan bahasa Indonesia yang diharapkan memberikan semangat dan motivasi tinggi dalam membina dan mengembangkan bahaasa Indoensia. Landasan tersebut bersifat keagamaan (religius), kesejarahan (historis, politis), kecendekian (intelektual), bersifat kemasyarakatan (sosial). Dengan landasan tersebut, pembinaan bahasa Indonesia yang dilakukan pada era otonomi daerah menjadi kuat, tidak tergoyahkan oleh kondisi yang bersifat memecah-belah, dan dapat dijadikan referensi dalam menjaga kesatuan dan persatuan demi keutuhan bangsaIndonesia. Landasan yang bersifat keagamaan adalah bahwa bahasa Indonesia itu karunia Tuhan yang harus kita syukuri. Membina dan mengembangkan bahasa Indonesia berarti mensyukuri karunia Tuhan. Sebaliknya, mengabaikan pemeliharaan bahasa Indonesia adalah sama dengan tidak mensyukuri karunia Tuhan. 
Landasan kedua bersifat kesejarahan, yaitu bahasa Indonesia merupakan amanat para pejuang atau pahlawan bangsa. Butir ke-3 Sumpah pemuda tahun, 1928 menyatakan bahwa Kami putra-putri Indonesia, menjungjung bahasa Persatuan, bahasa Indonesia.. Demikian pula Pasal 36 UUD 1945 menyatakan bahwa Bahasa Negara adalah bahasa Indonesia. Generasi penerus harus mengamalkan amanat itu. Menghargai bahasa Indonesia dengan jalan “menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar dalam suasana resmi” berarti mengamalkan amanat para pahlawan tersebut. 
Dasar berikutnya adalah landasan kecendekiaan. Bahasa Indonesia adalah bahasa yang mampu mengemban konsep, mutu, dan dan keilmiahan, karena diemban oleh intelektualisme para cendekiawan atau orang terpelajar, bukan awam. Kemampuan intelektual orang terpelajar jauh lebih tinggi daripada orang awam. Pengalaman intelektual mereka pun jauh lebih banyak daripada orang awam. Atas dasar itu, bahasa Indonesia orang terpelajar harus lebih bermutu daripada orang awam. Bahasa Indonesia beragam. Dasar ini juga merupakan landasan dalam pembinaan bahasa Indonesia, karena secara sosial, penutur bahasa Indonesia berasal dari berbagai strata dan kelompok masyarakat. Ragam bahasa Indonesia di antaranya: ragam baku, nonbaku, ragam ilmiah, dan ragam lainnya. Fokus dan Arah Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia
Pada prinsipnya, pembinaan dan pengembangan bahasa adalah upaya dan penyelenggaraan kegiatan yang ditujukan untuk memelihara dan mengembangkan bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan pengajaran bahasa asing. ini supaya dapat memenuhi fungsi dan kedudukannya. Pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia difokuskan melalui usaha-usaha pembakuan agar tercapai pemakaian yang cermat, tepat dan efisien dalam berkomunikasi. 
Sehubungan dengan itu, perlu diciptakan kaidah (aturan) dalam bidang ejaan, kosakata/istilah, dan tata bahasa. Dalam usaha pembinaan bahasa Indonesia perlu diarahkan dan didahulukan pada bahasa Indonesia ragam tulis karena coraknya lebih tetap dan batas cakupannya lebih jelas. Di samping itu, pembakuan lafal perlu dilakukan sebagai pegangan guru, penyiar televisi/radio dan masyarakat luas. Untuk kepentingan praktis, telah diambil sikap bahwa: pembinaan terutama difokuskan kepada penuturnya, yaitu masyarakat pemakai bahasa Indonesia, dan pengembangan terutama difokuskan kepada bahasa dalam segala aspeknya. Pembinaan dan pengembangan bahasa mencakup dua arah, yaitu pengembangan bahasa mencakup dua masalah pokok (masalah bahasa dan masalah kemampuan/sikap) dan pembinaan yang mencakup dua arah (masyarakat luas dan generasi muda). 
Pengembangan aspek bahasa meliputi ragam bahasa lisan dan bahasa tulis. Ragam bahasa lisan mencakup lafal, tata bahasa, dan kosakata/istilah, dan ejaan. Dalam ragam bahasa tulis yang digarap lebih dahulu adalah ejaan, dengan peresmian penggunaan Ejaan Yang Disempurnakan oleh Presiden Republik Indonesia tahun 1972. Kemudian, disusul dengan usaha pembakuan di bidang kosakata/istilah yang pemakaiannya diresmikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1975. Di samping itu, dilakukan pula pengolahan kembali Kamus Umum Bahas Indonesia karangan M.J.S. Poewadarminta oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa yang terbit mulai cetakan V tahun 1976. Kemudian, pada tahun 1988 terbit Kamus Besar Bahasa Indonesia, dan disempurnakan dalam edisi kedua yang terbit pertama tahun 1991.
Usaha pembakuan dalam bidang tata bahasa secara resmi telah dirintis dengan diadakannya Seminar Penyusunan Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia 1988. Dalam hal pengembangan kemampuan dan sikap, telah ditempatkan dasar yang kuat, yaitu dicantumkannya di dalam GBHN bahwa pembinaan dan pengembangan bahasa dilakukan dengan mewajibkan peningkatan mutu pengguna bahasa Indonesia sehingga penggunaan bahasa Indonesia secara baik dan benar dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Di samping itu, telah dan terus dilakukan pengembangan kemampuan dan sikap positif pemakai bahasa Indonesia dengan media televisi dan radio. Ada pula upaya penyuluhan kebahasaan secara langsung bagi para pelaku ekonomi dan pembangunan, baik ditingkat pusat maupun ditingkat daerah, di berbagai propinsi. Dengan demikian, diharapkan akan diperoleh keseragaman kaidah dan penerapannya dalam berbagai laras bahasa (jenis penggunaan bahasa) sehingga tujuan pengembangan bahasa-salah satu tujuan itu adalah pembakuan bahasa dapat dicapai. 
Pada era otoda ini, pembinaan bahasa tetap mengacu kepada sikap kebijakan pembinaan bahasa, yaitu ditujukan kepada masyarakat penutur bahasa. Pembinaan ini menakup dua arah, yaitu vertikal dan horizontal. Arah vertikal dengan sasaran pembinaan kepada generasi muda, termasuk pelajar dan mahasiswa, yang merupakan generasi penerus. Arah horizontal dengan sasaran pembinaan kepada generasi sekarang, yaitu masyarakat luas minus generasi muda. Pada masyarakat generasi sekarang diutamakan pembinaan ragam bahasa tulis, karena merekalah yang akan mewariskan penggunaan bahasa yang baik dan benar kepada generasi penerus. Berdasarkan paparan tersebut di atas, dapat dipahami bahwa pembinaan dan pengembangan bahasa pada era otoda sekarang ini meliputi usaha pengembangan bahasa (yang salah satu sasarannya berupa pembakuan bahasa) dan usaha meningkatkan kemampuan dan sikap penutur bahasa Indonesia agar dapat menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. 
Beberapa masalah pembinaan Bahasa Indonesia Era Otoda Pembinaan bahasa Indonesia sudah lama dilakukan, bahkan sejak zaman Pejangga Baru (1933). Tetapi, sampai sekarang masih banyak kendala yang dihadapi dan dialaminya, khususnya di era otoda. Masalah utama adalah persoalan sikap terhadap pembinaan bahasa Indonesia. Ada sebagian masyarakat pengguna bahasa Indonesia yang meremehkan bahasa Indonesia. Sikap mereka terhadap pembinaan bahasa Indoensia acuh tak acuh. Mereka menilai: (1) Pelaksanaan pembinaan bahasa Indonesia kurang menarik, (2) Hasilnya kurang nyata, (3) Bahasa Indonesia dianggap mudah. Karena dianggap mudah, orang Indonesia tidak perlu mempelajari bahasa Indonsia. Persoalan sikap tersebut semakin menjadi masalah, karena sikap negatif itu bukan berasal dari kelompok awam, melainkan kelompok cendekia atau terpelajar. 
Mereka itu sebagian adalah pelaku utama dan pemegang peranan penting dalam roda otonomi daerah jika orang awam bersikap negatif terhadap bahasa Indonesia, itu dapat dipahami. Tetapi, jika orang terpelajar bersikap seperti orang awam itu, tampaknya tidak berterima. Masalahnya, orang awam berbeda dengan orang terpelajar. Orang awam tidak banyak berkaitan dengan dunia pemikiran. Kegiatannya terbatas pada pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Sedangkan seorang terpelajar berkaitan erat dengan dunia pemikiran. Pemikiran-pemikirannya melahirkan konsep-konsep, perencanaan, dan kebijakan-kebijakan. Karena orang terpelajar pencetus konsep, perencana kegiatan, dan pembuat kebijakan, orang terpelajar selalu bergulat dengan masalah mutu sumberdaya manusia. Dalam pergulatan itulah bahasa Indonesia tampil sebagai piranti yang penting karena bahasa Indonesia merupakan bahasa resmi, bahasa negara. Berdasarkan hal tersebut di atas, dapat dipahami bahwa orang terpelajar (kita semua) pada hakikatnya berkepentingan dengan pembinaan bahasa Indonesia. Bahkan orang terpelajar dengan sendirinya menjadi pembina Bahasa Indonesia. Sebabnya, sekali lagi, orang terpelajar terlibat dalam dunia pemikiran. Sebab lain, orang terpelajar sering terlibat dalam suasana resmi, suasana kenegaraan, dan yang terakhir, orang terpelajar berpengaruh kuat terhadap orang lain (anak buah, bawahan). 
Alasan tersebut di atas yang menjadikan kelompok terpelajar, kita semua, harus berperan sebagai pembina bahasa Indonesia. Konsekuensi logisnya adalah mau tak mau, kita haruslah menjadi contoh, teladan, anutan, model bagi orang lain. Setidaknya, bahasa Indonesia kita harus bermutu. Apakah bahasa Indonesia yang bermutu itu? Bahasa Indonesia yang bermutu ialah bahasa Indonesia yang bersih dari kesalahan, baik kesalahan kaidah, kesalahan logika, maupun kesalahan budaya. Kesalahan kaidah sudah sering dibahas. Jadi pembicaraannya tidak perlu untuk sementara. Kesalahan logika tampak pada penggunaan pola seperti: “Dalam seminar itu membicarakan masalah pengentasan kemiskinan”. “Beberapa seniman diberikan penghargaan”, dan yang lain. Kesalahan budaya terlihat pada penggunaan kata-kata asing seperti oke, sorry, point, complain, no comment, coffee morning, dan yang lain. Begitu pula penggunaan pola-pola seperti: “tujuan daripada pembangunan”, “banyak teori-teori”, “tidak masalah”, dan yang lain. Pola-pola seperti itu merupakan kesalahan budaya yang melahirkan kesalahan kaidah. 

Bacaan 
Halim, Amran. 1976. Politik bahasa Nasional II. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 
Halim, Amran. 1979. Pembinaan Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 
Kridalaksana, Harimurti. 1976. Fungsi Bahasa dan Sikap Bahasa. Ende: Nusa Indah. Mawardi, Oentarto S. Peran Bahasa dan Sastra Daerah dalam Memperkukuh Ketahanan Budaya Bangsa. Makalah dalam Kongres Bahasa Indonesia VIII, Jakarta, 14 – 17 Oktober 2003 
Sugono, Dendy. 1999. Berbahasa Indoensia dengan Benar. Jakarta: Puspa Swara. Sumowijoyo, G. Susilo. 2001. Pos Jaga. Bahasa Indonesia. Surabaya: Unipress Unesa 






Peran Bahasa Daerah dalam Mengembalikan Bahasa Indonesia menjadi Bahasa Kesatuan
 (Huruf diatas adalah huruf LONTARA dari Makassar yang juga mendapat pengaruh huruf-huruf palawa dari kebudayaan india)
Bangsa dunia menilai kemajuan peradaban suatu bangsa salah satunya adalah melalui ketinggian bahasanya. Bahasa yang kompleks dari segi Grammatik dan Morfologi sebuah kata mencerminkan bahwa bangsa itu memiliki ketinggian peradaban dan menunjukkan kecerdasan bangsa tersebut. Sebagai contoh bahasa yang bisa dikatakan tinggi adalah bahasa jerman, arab, cina dan jepang. Bagaimana dengan bahasa indonesia ?
Bahasa Indonesia sendiri lahir pada zaman dimana bahasa ini dipergunakan sebagai bahasa perdagangan antar bangsa, istilah yang kita kenal adalah ''Lingua Franca''. Bahasa yang beribu dari rumpun bahasa melayu yang berasal dari Tanah Riau, telah disahkan secara nasional oleh kita sebagai Bahasa Pemersatu dalam peristiwa Sumpah Pemuda. Sudah sekian lama bahasa ini menjadi kebanggan bangsa kita.
Namun sayangnya Bahasa Indonesia banyak memiliki kelemahan, terutama terlalu mudah dipelajari dan tidak kompleks aturan-aturan tata bahasanya, terutama permasalahan grammatik, morfologi, dan bahkan perbendaharaan katanya yang sedikit. Tak heran bahasa indonesia sejalan dengan waktu terjajah oleh bahasa asing.
Banyak istilah-istilah asing yang tadinya menambah koleksi kata bahasa indonesia terutama istilah di bidang eksak (IPTEK) - malahan kini merambah hingga bahasa pergaulan kita sehari-hari. Dan banyak istilah asing ini dipergunakan secara liar, jauh dari definisi asal sebenarnya. Oleh karena itu terjadi kerancuan. Bisa jadi saya dan anda -jika kita mendapatkan salah satu istilah asing- pengertian kita masing-masing berbeda. Lalu ada istilah asing yang definisi hanya satu, tapi kita generalisasikan. Akhirnya tadinya kita bermaksud menggunakan istilah itu untuk menggambarkan apa yang kita ingin ungkapkan, malah sama sekali istilah itu tidak cocok dipakai pada ungkapan itu. Padahal semestinya ada istilah asing yang lain yang lebih cocok dipergunakan pada ungkapan tersebut.
Tak bisa dipungkiri juga, seringnya kita mempergunakan bahasa asing malah menggeser nilai identitas keindonesiaan, dan bahkan nilai kesatuan kita. Pada saat kita berbicara kepada seseorang yang berasal dari daerah lain, sudah pasti kita menggunakan bahasa indonesia. Namun karena bahasa indonesia yang telah terpengaruhi oleh istilah asing dan istilah asing tersebut kita pakai pada saat perbincangan tersebut, malah bisa menimbulkan kesalahpahaman. Tiba-tiba orang yang diajak bicara menjadi marah, karena bisa jadi dia tidak mengetahui dengan pasti istilah yang kita pergunakan - bisa jadi dia tidak tahu artinya atau bisa jadi salah mengartikan-. Justru inilah yang menjadi salah satu sumber perpecahan kita. Ternyata semakin berkembangnya bahasa indonesia dengan perbendaharaan kata asing tidak sejalan pelaksanaannya di lapangan di seluruh pelosok tanah air.
Dan ternyata juga penggunaan bahasa asing ini lebih digunakan dalam pergaulan orang-orang kota besar, terutama di Jakarta. Orang-orang kota besar memang identik mempergunakan istilah-istilah asing - supaya tampak ''keren'' dan terkesan ''highclass''. Beda dengan kota selain Jakarta yang masih tercampur dengan logat bahasa daerahnya.
Salah satu jalan untuk mengembalikan Bahasa Indonesia menjadi Bahasa Persatuan adalah dengan cara memberi kesempatan kepada keragaman dan kekayaan bahasa daerah di tanah air untuk menambah perbendaharaan kata bahasa indonesia. Jika ada kata yang tidak dikenal atau tidak ada istilah bahasa indonesianya, sudah selayaknyalah kita merujuk kepada perbendaharaan kata bahasa daerah, bukan bahasa asing. Selain bahasa rumpun melayu (Sumatera dan Kalimantan) contoh yang bisa dijadikan rujukan adalah kerumitan tata bahasa dan ketinggian bahasa jawa yang berbeda tiap kasta-kasta, beragamnya bahasa sunda, bahasa batak dan mentawai, bahasa bugis dan makassar, bahasa maluku, dayak, papua, flores bisa memperkaya bahasa indonesia. Dengan partisipasi dari bahasa daerah inilah justru timbul rasa turut ikut mendukung dan mewakili kekayaan dan ketinggian bahasa indonesia, serta terutama juga akan timbul rasa sama-sama memiliki bahasa indonesia sebagai bahasa nasional. Inilah yang bisa menjadi salah satu solusi mempersatu bangsa kita. Hal yang kecil namun pengaruhnya besar bagi bangsa kita secara keseluruhan dari Sabang sampai Merauke.
Apakah pendapat saya tidak ''open minded'' atau tidak sejalan arus globalisasi dunia tanpa batas karena menolak penggunaan istilah asing ? Pertanyaan balik saya adalah, kita akui bahwa Bahasa Inggris sudah menjadi Bahasa Internasional. Tapi mengapa bahasa inggris tetap disebut sebagai bahasa inggris ? Kenapa tidak disebut Bahasa Dunia ? Apakah bahasa inggris telah mewakili bahasa di dunia ? Walau bahasa inggris pun juga menambah perbendaharaan katanya dari bahasa asing lain, namun terbatas mengambil seputar bahasa-bahasa Eropah (Jerman, Italia, Latin, Perancis dan Belanda), terutama untuk perbendaharaan kata benda, kata sifat, dan kata kerja. Namun untuk istilah-istilah bahasa lain terutama Bahasa Asia hanya memperkaya pembendaharaan kata bendanya saja, dan hanya menunjukkan benda yang memang berasal dari Asia, semisal: 'Origami', 'Sushi', 'Sari', 'Kung Fu', 'Islam', 'Batik', 'Kampoong', 'Saroong', 'Nasi Goreng', 'Sate/Satay', 'Sambel Oelek' dan lain-lain. Walau dipakai tapi hanya pada saat tertentu saja. Saya belum pernah mendengar Bahasa Afrika diserap oleh bahasa inggris kecuali untuk istilah alat musik tertentu yang tidak terdefinisikan. Apakah ini 'open minded' ? Apakah ini sejalan globalisasi ?
Justru dengan memberikan kesempatan bahasa daerah memperkaya bahasa indonesia, maka bisa jadi bahasa kita bisa digolongkan kedalam bahasa dunia dan juga ikut memperkaya suatu bahasa yang akan menjadi bahasa dunia kelak dalam rangka mempersatukan dunia. Walau serapan kata daerah pada awalnya terdengar lucu, bisa jadi 5 hingga 10 tahun kedepan malah telinga kita semakin terbiasa dengannya. Padahal pada saat kita menyerap istilah asing adakalanya kita merasa tergelitik memakai istilah tersebut, namun lama kelamaan malah diterima. Oleh karena itu kalau kita tidak bisa memelihara bahasa indonesia dengan memperkayanya, maka tidak lama lagi bahasa indonesia hanya tinggal kenangan saja dan hanya menjadi ''objek museum''.
Aneh saya rasa, bagi kita yang masih menganggap pemakaian istilah asing akan menunjukkan kecerdasan seseorang dan menggunakan istilah indonesia akan terasa 'kampungan'. Padahal dengan menggunakan Bahasa Indonesia yang diperkaya dengan bahasa-bahasa daerah kita justru menunjukkan ketinggian peradaban bangsa kita. Seperti anggapan bangsa dunia terhadap ketinggian bahasa suatu bangsa yang saya ceritakan pada awal artikel ini.
-saya yang sedang belajar di jerman, yang masih sulit menguasai kerumitan bahasa jerman-

nb: Mohon maaf apa yang saya utarakan apa adanya dan ternyata juga terdapat istilah-istilah asing :). Maklum, saya hanya seorang arsitek yang sudah terbiasa memakai istilah-istilah tersebut dalam dunia akademis dan kerja yang juga saya mempelajarinya melalui sekolah-sekolah.
Dan maklum, kalo tulisan saya juga tidak tersusun rapih, karena saya sedang belajar menulis.
Melalui tulisan ini, saya hanyalah prihatin dengan nasib kesatuan bangsa kita dan terutama nasib Bahasa Indonesia kita.
Oleh sebab itu saya mohon bagi yang berkepetingan dan ahli di bidang bahasa indonesia, tulisan ini bisa menjadi masukan bagi anda sekalian. 






KERJASAMA PERPUSTAKAAN

KERJASAMA PERPUSTAKAAN
Pendahuluan
Apa yang selama ini pernah kita alami bersama, salah satu contoh bahwa kalau kita makan kacang atau yang lainnya dan ada salah satu yang jatuh maka dalam beberapa menit saja datanglah seekor semut menghampiri kacang tersebut, kemudian semut akan mengundang temannya untuk menarik kacang tersebut secara bersama-sama. Hal ini orang mengatakan bahwa semut bekerja bersama sama dengan kata lain secara singkat kerja sama.
Pendapat tersebut sangatlah benar, bahwa upaya semut menarik kacang tersebut secara bersama-sama merupakan konsep sinergi dalam melakukan kerjasama yang lebih besar bila dibandingkan melkasanakan kegiatan masing-masing.Kegiatan kerjasama dengan asas sinergi semacam itulah juga dianut oleh perpustakaan, sebab perpustakaan tidak akan mempu melayani kebutuhan masyarakat akan bahan bacaan atau buku-buku.

Pengertian 

Kerjasama ialah kegiatan atau usaha yang dilakukan oleh beberapa orang atau pihak untuk mencapai tujuan bersama (Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa) 
Berdasarkan pengertian tersebut kerjasama perpustakaan dapat diartikan kegiatan pemanfaatan bersama sumber daya yang dimiliki perpustakaan.

Tujuan
a. Dilakukan tata cara pemanfaatan bersama informasi yang dimiliki perpustakaan peserta 
  kerjasama tersebut oleh pemakainya.
b. Lebih memungkinkan dan memudahkan pemanfaatan informasi yang dimiliki oleh  
  perpustakaan - perpustakaan lain.
c. Perlu pengembangan dalam sub sistem pengolahan dokumen atau penghimpunan  
  dokumen.
d. Pengolahan dokumen menghasilkan informasi berupa indeks, abstrak, bibliografi.
e. Terhimpunnya dokumen secara maksimal guna memenuhi kebutuhan pemakai, serta  
  dapat dilakukan monitoring oleh masing – masing peserta.
Alasan Kerjasama
Jadi alasan – alasan kerjasama perpustakaan itu ada beberapa macam :
a. Meningkatnya jumlah buku yang diterbitkan setiap tahun, perpustakaan tidak mampu membeli buku baru untuk kepentingan pembacanya. Karena perpustakaan tidak mampu membeli sehingga perlu adanya kerjasama.
b. Semakin banyaknya media yang diterbitkan, karena bentuk tercetak masih berkembang lagi yang berbentuk elektro, misalnya CD-ROM (Compacty Disc Read Only Memory), kaset, film, peta. Maka perpustakaan perlu bekerjasama menghadapi munculnya atau meningkatkannya berbagai jenis media.
c. Meningkatkan kebutuhan pemakai, karena berkembangnya pendidikan serta majunya ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga memaksa orang – orang yang sudah bekerja harus belajar kembali agar ilmu mereka tidak ketinggalan.
d. Tuntutan masyarakat untuk memperoleh informasi yang sama sebaiknya dengan tidak memandang dimana mereka berada. Dengan adanya kerjasama perpustakaan memungkinkan pemberian jasa informasi yang sama baiknya dengan tidak memandang, apakah pembaca berada di desa terpencil maupun di kota.
e. Karena adanya teknologhi khususnya teknologi komputer dan telekomunikasi. Bahkan komputer pribadi dapat dikaitkan dengan komputer lain yang dihubungkan telepon. Jadi kalau perpustakaan sudah ada komputer dan modern serta telepon semua permintaan dsapat dilakukan melalui komputer, atau cetakan ataupun dalam disket, dapat juga pengiriman melalui faximile.
f. Adanya tuntutan penghematan bahwa perpustakaan tidak perlu membeli semua buku yang terbit karena anggaran perpustakaan terbatas. Apabila sebuah buku dibeli perpustakaan lain, maka dalam skema kerjasama, perpustakaan dapat meminjam buku tersebut sesuai dengan keterangan kerjasama.

Bentuk Kerjasama
Dalam rangka melakukan layanan pembaca, tidak semua permintaaan yang dibutuhkan pemakai perpustakaan selalu tersedia pada koleksi perpustakaan. Karena permintaan yang diperlukan pemakai tidak dapat terpenuhi, maka kita perlu mencarikan permintaan tersebut pada perpustakaan lain. Kegiatan ini dinamakan jasa silang layan atau interlibrary loan yang merupakan salah satu program kerjasama antar perpustakaan.

Pada kenyataannya semakin banyak perpustakaan yang melengkapi peralatan komputer, namun antara perpustakaan yang satu dengan perpustakaan yang lain belum saling berkomunikasi atau melakukan pertukaran informasi secara otomatis, karena terbatasnya dana yang tersedia. Dengan demikian satu – satunya jalan perlu dikembangkan adalah bentuk kerjasama sebagai upaya pemakaian koleksi secara bersama.
Kerjasama di Indonesia sebenarnya dimulai sejak tahun 1970-an, pada bulan Juli 1971 di Bandung telah diselenggarakan lokakarya atau workshop jaringan perpustakaan, dokumentasi dan informasi. Hasil lokakarya menyebutkan 4 jaringan perpustakaan, dokumentasi dan informasi berdasarkan cakupan bidang atau disiplin ilmu sebagai berikut :
1. IPTEK dengan koordinasi atau pusat jaringan Pusat Dokumentasi Ilmiah Nasional, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PDIN – LIPI). Badan ini selanjutnya berubah menjadi Pusat Dokumentasi Ilmu Pengetahuan Indonesia, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PDII-LIPI).
2. Biologi dan pertanian, dengan koordinasi pusat jaringan Bibliotheca Bogoriensis. Badan ini dinamakan Pusat Perpustakaan Pertanian dan Komunikasi Penelitian, Departemen Pertanian atau sering nama PUSTAKA.
3. Kedokteran dan kesehatan denganm koordinasi Perpustakaan Departemen Kesehatan.
4. Ilmu sosial dan kemanusiaan, dengan koordinasi Proyek Pusat Dokumentasi Ilmu – Ilmu Sosial, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PDIS-LIPI) bahwa pada tahun 1971 Perpustakaan Nasional belum ada. Pada tahun 1980 Perpustakaan Nasional di lingkungan Depdikbud maka bidang ilmu sosial dan kemanusiaan dikoordinasi oleh Perpustakaan Nasional hingga sekarang, yaitu pembentukan dan peningkatan peran, tugas dan fungsi Perpustakaan Nasional RI berdasarkan Keputusan Presiden nomor 11 tahun 1989 tanggal 6 Maret 1989.
Namun setelah tahun 1971 muncullah jaringan-jaringan perpustakaan yang mencakup bidang atau disiplin ilmu yang lebih sempit, atau khusus, karena fungsi jaringan perpustakaan ialah melakukan kerjasama sehingga pemakai dimanapun memperoleh jasas perpustakaan sama baiknya dengan pemakai di tempat lain. Untuk melakukan kerjasama tersebut perlu diketahui bentuk-bentuk apa yang dilakukan sebagai upaya pemanfaatan koleksi secara bersama;

Kerjasama Pengadaan
Dengan banyaknya terbitan buku tiap tahun tidak mungkin perpustakaan membeli secara menyeluruh, oleh karena itu diperlukan kerjasama pengadaan. Dalam kerjasama ini dua perpustakaan atau lebih bersama-sama mengambil keputusan untuk melakukan pembilian buku menurut subyek yang telah ditentukan secara bersama-sama atau masing-masing perpustakaan sepakat mengadakan buku sesuai dengan subyek masing-masing.
Suatu contoh :  
Perpustakaan A,B dan C sepakat untuk melakuakan pengadaan bersama, sehingga anggaran pengadaan A,B dan C dijadikan satu dan dibelanjakan.
Contoh lain :
Perpustakaan A, B dan C sepakat mengembangkan koleksi masing-masing. Katakan perpustakaan A bergerak di bidang kebudayaan dan politik, perpustakaan B di bidang ekonomi, sosial, sedangkan C bidang kesehatan, pertanian dan lain-lain. 
Apabila dalam bidang kebudayaan dan politik, perpustakaan A yang memesan, apabila ekonomi dan sosial perpustakaan B, sedangkan bidang kesehatan dan pertanian adalah perpustakaan C. Cara ini menghemat karena masing-masing perpustakaan tidak perlu membeli buku yang menjadi cakupan ketiga bidang, cukup membeli oleh satu perpustakaan saja.

Penyusunan & Penerbitan Katalog Induk
Penyusunan ini yang dilakukan adalah memilih daftar tambahan buku oleh perpustakaan, masing-masing perpustakaan mengirim daftar buku. Penyusunan katalog Induk berdasarkan pengarang buku dan dilengkapi dengan kode koleksi.

Berikut ini contoh katalog induk :

ADIWINATA, Saleh
  Perkembangan hukum perdata sejak tahun 
  1960. Bandung : Alumni, 1970.
  Jl. PUSDA

Dengan berkembangnya kerja sama maka INDOMARC mengembangkan kode propinsi sebagai berikut :

Aceh AC Kalimantan Barat KB
Sumatera Utara SU Kalimantan Tengah KT
Sumatera Barat SB Kalimantan Timur KI
Sumatera Selatan SS Kalimantan Selatan KS
Jambi JA Sulawesi Selatan SN
Riau RI Sulawesi Tengah ST
Bengkulu BU Sulawesi Tenggara SG
Lampung LA Sulawesi Utara SA
Jakarta JK Maluku MA

Jawa Barat 
JB 
Irian Jaya 
IJ
Jawa Tengah JT Bali BA
Yogyakarta YO Nusa Tenggara Barat NB
Jawa Timur JI Nusa Tenggara Timur NI
   

Dengan demikian kita dapat menggunakan kode perpustakaan.

Pertukaran  
Kegiatan ini diwujudkan dalam pertukaran koleksi yang berbentuk buku dengan menggunakan metode langsung dimana perpustakaan yang bersangkutan melakukan pertukaran buku sesama perpustakaan dengan menggunakan dasar pertukaran 1 : 1, maksudnya 1 buku ditukar dengan 1 buku tanpa memandang tebal tipisnya buku maupun harganya.

Kerjasama Layanan Teknis
Kegiatan ini tindak lanjut dari kerjasama dari kerjasama pengadaan bersama. Kerjasama layanan teknis mencakup pengolahan berupa pengkatalogan, kladsifikasi, serta penerapan tajuk subyek. Dalam hal ini dua perpustakaan bersepakat mengolah bersama buku yang mereka peroleh.

Kerjasama Penyimpanan
Karena semakin hari perpustakaan bukunya semakin tambah, sehingga ruangan menjadi penuh maka diperlukan kerjasama penyimpanan. Apabila koleksi perpustakaan tidak bertambah maka lama kelamaan perpustakaantersebut akan ditinggalkan pemakainya. Dengan tambahnya koleksi maka timbullah gagasan untuk melakukan kerjasama penyimpanan buku yang jarang dipergunakan. Kerjasama ini melibatkan beberapa perpustakaan, perpustakaan yang ditunjuk akan menyimpan sesuai kesepakatan. Penyimpanan tersebut dilakukan berdasarkan sukarela ataupun sewa yang artinya perpustakaan yang menitipkan bukunya di perpustakaan yang ditunjuk harus membayar sewa ruangan.
Kerjasama SDM
Kerjasama ini dilakukan berdasarkan kesepakatan dua perpustakaan yang membutuhkan tenaga, dengan tujuan perpustakaan yang diminta kerjasama belum mempunyai tenaga yang memadai, semua keperluan tenaga yang bekerja menjadi tanggung jawab perpustakaan yang meminta. Misalnya honor bulanan, dan lain-lain.

Kerjasama Pendidikan dan Pelatihan
Di dalam kegiatan kerjasama pendidikan dan pelatihan atau disingkat DIKLAT. Perpustakaan perlu kerjasama, karena perpustakaan dapat bekerja lebih efisien dan efektif dengan cara memaksimalkan sumber daya yang ada. Saling tukar menukar informasi, keahlian dan pengalaman. Dalam arti formal pustakawan komunikasi dengan pustakawan lain melalui saluran informal seperti tatap muka, telepon, surat menyurat, atau berbincang – bincang. Namun itu dilakukan melalui saluran informal lalu timbul gagasan bagaimana kalau pengalaman tersebut dituangkan dalam bentuk formal agar terbentuk kerjasama pendidikan dan pelatihan.
Bentuk pelatihan tersebut berupa :
a. Seminar kebijakan perpustakaan dan kepustakawanan bandingan. Dalam hal ini dibahas pengalaman berbagai perpustakaan menyangkut pinjam antar perpustakaan, susunan meja peminjaman.
b. Seminar berorientasi sehari-hari. Kita masih melihat banyak perbedaan penggunaan/sistem peminjaman. Ada yang menggunakan kartu, ada yang bon. Hal inilah yang harus dibahas.
c. Seminar yang berorientasi pada subyek. Seminar mengandung spesialis untuk berbincang-bincang dengan pustakawan. Misalnya seorang arsitek bertatap muka dengan pustakawan membahas cara mengatur ruangan.

Kerjasama Penyediaan Fasilitas
Kerjasama ini sebenarnya memudahkan pemakai untuk menggunakan perpustakaan. Misalnya A akan masuk salah satu perpustakaan mungkin akan ditanya mengenai identitas KTP, SIM, KTM atau tanda pengenal yang lainya. Dengan kerjasama ini A hanya menunjukan kartu Anggota untuk melakukan aktifitas di perpustakaan lain. Misalnya fotokopy, baca di tempat, menggunakan koleksi referensi atau mencatat, tetapi untuk pinjam dibawa pulang tidak boleh. 

Penutup
Perpustakaan sebagai sebuah organ hidup harus terus menerus menambah koleksinya untuk kepentingan pemakai. Penambah koleksi yang mampu memenuhi kebutuhan pemakai tidak akan mampu dilakukan oleh sebuah perpustakaan. Perpustakaan perlu kerjasama dimulai dengan kerjasam pengadaan ini tidak dilakukan oleh perpustakaan di Indonesia tetapi perpustakaan di luarnegeri. 
Apabila perpustakaan mempunyai kelebihan koleksi maka koleksi tersebut dapat didistribusikan pada perpustakaan lain atau dijadikan sebagai bahan tukar menukar dengan bandingan 1 : 1.
Untuk mempermudah pinjam antar perpustakaan maka diperlukan katalog induk, yang mencakup koleksi 2 perpustakaan atau lebih. Untuk memudahkan penyusunan diperlukan keseragaman format dan kode lokasi. Penyeragaman format diperlukan untuk data bibliografi yang diolah dengan komputer.
Selain kerjasama penyusunan katalog induk masih ada kerjasama yang lain yaitu kerjasama pendidikan dan pelatihan bagi pustakawan, untuk memudahkan pemakai yang berasal dari perpustakaan dilakukan kerjasama penyediaan fasilitas, semua ini dilakukan untuk kepentingan pemakai

Daftar Pustaka
Indro B. Soebagio (1996). Peranan Jaringan Data Komunikasi Dalam Jaringan Perpustakaan. Jakarta : Perpusnas RI.
Ipon S. Purawijaya (1996). Pengantar Jaringan Informasi. Jakarta : Perpusnas RI.
Jafar Basri, (1996). Teknologi Jaringan Informasi. Jakarta: NVPD Soedarpo Corporation.
Kreswanntyo Tami Haryono, (1996). Sistem Jaringan Dokumentasi Hukum di Lingkungan Badan Pembinaan Hukum Nasional. Jakarta Badan Pembinaan Hukum Nasional.
Pusat Jaringan Informasi da Dokumentasi Ilmiah Bidang Kesehatan dan Kedokteran, (1982). Mekanisme Kerjasama Jaringan Informasi dan Dokumentasi Ilmiah Bidang Kesehatan dan Kedokteran.
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, (1991). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 
Sulistyo-Basuki, (1991). Pengantar Ilmu Perpustakaan. Jakarta : Gramedia. 
Triyono, (1996). Mekanisme Sistem Dokumentasi dan Informasi PDII-LIPI. Jakarta : PDII-LI


LAYANAN , PROMOSI DAN KERJASAMA PERPUSTAKAAN

 LAYANAN , PROMOSI DAN KERJASAMA PERPUSTAKAAN

PENDAHULUAN
 Perpustakaan bertugas melayani masyarakat pengguna Jasa perpustakaan yakni para peminjam bahan pustaka. Layanan berarti kesibukan sebab bahan pustaka sewaktu-waktu harus tersedia bagi mereka yang memerlukan. Kegiatan yang paling sibuk di perpustakaan adalah unit pelayanan. Pelayanan pemakai merupakan unit kegiatan yang langsung berhubungan dengan pengguna sehingga kunci keberhasilan suatu perpustakaan dapat diukur dari keberhasilan dalam meningkatkan jumlah perpustakaan.
Pelayanan pengguna bukanlah satu-satunya tetapi salah satu dari urutan kegiatan lain saling membutuhkan. Dari pelayanan pengguna khususnya kepada anak didik dan pendidik dituntut kreatifitasnya dalam usaha mendayagunakan bahan pustaka agar setiap bahan pustaka yang tersedia dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh penggunanya. Layanan pengguna juga mempunyai tugas pokok memberikan layanan, bimbingan, informasi dan pengarahan.
A. PENGERTIAN :
Layanan perpustakaan adalah semua kegiatan yang ditujukan untuk menyiapkan segala sarana (fisik dan non fisik) bagi mempermuda perolehan informasi / bahan pustaka yang dibutuhkan pemakai perpustakaan.
Layanan perpustakaan dapat pula berarti :
1. Pengorganisasian secara teratur dan sistematis melalui kegiatan pencatatan pendafataran, pengklasifikasian, pengkatalogan, pemrosesan dan penyiapan bahan-bahan pustaka dalam rak-rak buku serta penyusunan semua bahan pustaka yang ada dalam perpustakaan.
2. Sistem peminjaman semua fasilitas perpustakaan yang diperuntukan bagi pemakai/ pengguna perpustakaan dengan cara cepat dan semudah mungkin sebagai suatu tugas layanan perpustakaan yang berhubungan langsung dengan penggunanya.

B. TUJUAN LAYANAN :
Bahwa tujuan perpustakaan menyediakan layanan kepada pembaca adalah agar bahan pustaka yang terkumpul yang telah diolah sedemikian rupa sesuai dengan aturan yang berlaku dapat sampai ketangan pembaca secara cepat dan tepat.

C. SYARAT – SYARAT LAYANAN BAHAN PUSTAKA:
Agar tujuan dapat tercapai maka yang perlu diperhatikan syarat-syarat layanan meliputi :
1. Pencatatan kegiatan itu dapat di;lakukan secara teratur;
2. Prosedur yang dianut sederhana, mudah diikuti dan tidak banyak menimbulkan masalah;
3. Pekerjaan dapat dilakukan dengan cepat dan mudah;
4. Kemanan koleksi dapat dijaga dengan baik.

D. UNSUR-UNSUR LAYANAN :
Koleksi bahan pustaka yaitu bahan-bahan buku dan non buku yang dibina dan dimanfaatkan seefektif dan seefesian mungkin oleh perpustakaan. Jadi bukan sebagai pajangan, pameran atau hiasan saja, tetapi juga bagaimana pengembangan dan pengorganisasiannya.

1) Fasilitas yaitu kemudahan berupa sarana prasarana yang tersedia termasuk ragam layanan.

2) Petugas yaitu orang-orang yang menghubungkan bahan-bahan koleksi perpustakaan dengan pengguna perpustakaan atau dengan seorang tenaga ahlinya atau pustakawan dan setiap orang memiliki hubungan secara lanmgsung terhadap perpustakaan.
3) Pemakai yaitu orang-orang yang membutuhkan informasi dan berbagai kalangan masyarakat baik secara individual maupun kelompok, yang memanfaatkan layanan perpustakaan, misalnya guru, pelajar, dan orangtua dan karyawan.

  
  LAYANAN PEMBACA
A. PENGERTIAN SIRKULASI :
Layanan sirkulasi adalah suatu kegiatan layanan peminjaman dan pengembalian koleksi yang mengatur peredaran bahan pustaka secara terorganisir melalui sistem, cara atau pencatatan yang sesuai dengan perpustakaan sekolah.

Kegiatannya meliputi :
1. Menyelenggarakan administrasi peminjaman sesuai dengan sistem layanan.
2. Menyediakan bahan pustaka yang berguna untuk kepentingan atau keperluan perpustakaan sesuai dengan kebutuhan pengguna.
3. Menjawab pertanyaan yang berhubungan dengan bahan pustaka
4. Mengadakan pengawasan koleksi
5. Menyusun dan mengatur kembali bahan pustaka yang telah digunakan oleh pemakai.
6. Membuat laporan seluruh kegiatan yang dilakukan dalam layanan sirkulasi.

B. LAYANAN REFERENSI :
Layanan referensi adalah kegiatan layanan yang berupa bantuan kepada pengguna/ pemakai dalam menunjukkan sumber informasi secara langsung maupun tidak langsung melalui buku rujukan atau buku sumber lainnya dengan tepat dan cepat.
Tugas Referensi :
1. Tugas langsung :
a. Memberikan layanan penunjukan sumber informasi atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh pemakai;
b. Bekerjasama secara baik dengan bagian sirkulasi dalam menjawab suatu pertanyaan yang berhubungan dengan kedua layanan tersebut;
c. Mencatat semua pertanyaan yang diajukan oleh pengunjung;
d. Memberikan penelusuran informasi secara selektif;
e. Menggunakan perpustakaan dengan baik dan efektif;
f. Membina minat baca melalui bahan bacaan referensi dengan bimbingan tertentu;
g. Bertanggung jawab terhadap semua koleksi bahan referensi;
h. Mengembangkan bahan pustaka menjadi Sumber Informasi baru.

2. Tugas tidak langsung:Pengorganisasian dan penyusunan buku sumber;
a. Pemeliharaan dan penjilidan buku sumber;
b. Pembinaan dan penyeleksian buku-buku sumber atau referensi;
c. Pembinaan kerjasama dengan perpustakaan lain;
d. Penyusunan laporan berkenaan dengan tugas-tugas layanan referensi. 


C. LAYANAN BIMBINGAN PEMBACA :
Layanan bimbingan pembaca artinya kegiatan memberikan bantuan bimbingan kepada pemakai dalam menunjukkan sumber informasi secara langsung maupun tidak langsung hal penggunaan dan pemanfaatan koleksi yang tersedia di perpustakaan.
1. Tujuan Jangka Pendek :
Berkembangnya kemampuan pemakai dalam menggunakan dan memanfaatkan koleksi perpustakaan secara cepat dan tepat sasaran.
2. Tujuan Jangka Panjang :
Terbinanya kemampuan pengembangan pengetahuan, nilai dan sikap, serta ketrampilan dengan memanfaatkan sepenuhnya koleksi perpustakaan melalui studi mandiri:

Materi Bimbingan 
a. Memberikan pengertian tentang arti pentingnya buku dan membaca.
 Memperkenalkan bagian-bagian buku;
 Memperkenalkan cara memelihara buku.

b. Menanamkan dan meningkatkan kegairahan membaca:
 Memperkenalkan ragam koleksi
 Menyelenggarakan lomba membaca
 Melatih membaca secara berencana.

c. Mengarahkan kemampuan membaca untuk belajar:
 Membimbing dan melatih menceritakan kembali isi buku yang telah dibaca.
 Membimbing dan melatih ringkasan dari buku yang telah dibaca
 Menyelenggarakan cerdas cermat dengan pertanyaan-pertanyaan yang jawabannya hanya dapat diperoleh dari membaca.

   
  SISTIM LAYANAN DAN PERATURAN ERPUSTAKAAN

A. SISTIM LAYANAN :
Sistem yang dipergunakan diperpustakaan pada umumnya dikenal dengan istilah sistem layanan terbuka dan sistem layanan tertutup.

1. Sistem Layanan terbuka :
Sistem Layanan terbuka adalah sistem dimana para pemakai diberi keleluasaan untuk dapat memilih sendiri koleksi yang diinginkan sesuai dengan kebutuhannya.

  Kelebihan Sistem Terbuka :
a. Pengguna bebas memilih sendiri bahan pustaka yang diperlukan dengan memanfaatkan kartu katalog secara efektif.
b. Jika buku yang dikehendaki tidak ada di rak bisa memilih buku yang lain.
c. Dapat menimbulkan daya rangsang untuk membaca buku yang tersedia.
d. Lebih menyenangkan melihat-lihat buku dari pada memeriksa dan membolak balik kartu katalog.

Kekurangan Sistem Terbuka :
a. Susunan buku di rak kurang terpelihara.
b. Pengguna sering menyalahgunakan, sehingga kadang-kadang ada buku yang hilang dan halamannya di sobek.
c. Petugas harus sering melakukan penataan buku/ shelving setiap hari.
d. Petugas harus selalu mengawasi tanpa menimbulkan kesan curiga.

2. Sistem tertutup : 
Sistem Layanan tertutup adalah sistem dimana para pengguna tidak diijinkan memasuki ruang koleksi bahan pustaka, sehingga apabila pengguna membutuhkan beberapa judul buku yang dikendaki hanya dapat memilih melalui kartu dengan cara mencatat identitas buku yang dikehendaki tersebut untuk diberikan kepada petugas.

Kebaikan Sistem Tertutup :
a. Susunan buku dalam rak dapat terpelihara dengan baik.
  b. Pengontrolan buku lebih mudah dilaksanakan oleh petugas
  c. Tidak diperlukan petugas khusus yang mengawasi pengunjung.

Kekurangan Sistem Tertutup :
a. Alternatif melihat buku dan memilih subjek yang sama dengan judul yang berbeda tidak ada.
b. Memilih buku lewat kartu katalog, sehingga kurang memberikan kesenangan dan rangsangan dibandingkan melihat buku langsung.

B. PERATURAN PERPUSTAKAAN :
 Pelayanan perpustakaan harus berlangsung secara tertib dan teratur. Dengan demikian di perlukan peraturan dan ketentuan yang mengaturnya. Pada dasarnya peraturan adalah untuk kenyamanan pembaca dalam menggunakan perpustakaan, kelancaran dalam pelayanan serta keamanan bahan pustakan.
 Ada 2 (dua) macam peraturan yang berlaku, yaitu peraturan di ruang baca dan peraturan untuk anggota.
1. Peraturan di ruang baca:
Karena perpustakaan adalah ruang untuk belajar, tempat melakukan penelitian dan tempat untuk membaca, oleh karena itu perlu dijaga ketenangan dan jauh dari kebisingan. Perlu ada pemberitahuan secara tertulis yang ditempatkan di meja baca yang biasa dilalui oleh orang banyak, contoh “ HARAP TENANG”, kalimat tersebut untuk mengingatkan pemakai perpustakaan untuk tidak bersuara keras. 
Disamping itu harus ada larangan merokok kerena asap rokok juga dapat mengganggu pembaca yang lain, sedangkan larangan yang lain adalah makan dan minum di ruang baca perpustakaan.
Dan ada lagi yang melarang pembaca membawa tas jaket keruang baca. Hal tersebut untuk mencegah pembaca menyembunyikan buku kedalam tas atau jaket.

2. Peraturan anggota ( Keanggotaan ) :
Peraturan keanggotaan perpustakaan akan berbeda perpustakaan yang satu dengan perpustakaan yang lainnya, misalnya untuk perpustakaan instansi berbeda dengan perpustakaan sekolah. Demikian pula dengan perpustakaan umum, bahkan perpustakaan sekolah satu dengan perpustakaan yang lain bisa juga dapat berlainan.
Pada prinsipnya peraturan keanggotaan merupakan suatu kebijakan dari unit yang membawahi.
Peraturan anggota memuat:
 Siapa yang diperolehkan menjadi anggota;
 Hak anggota;
 Kewajiban anggota;
 Sanksi bagi anggota yang tidak tertib;
 Waktu pelayanan.

  SISTEM PEMINJAMAN
Banyak sistem peminjaman di perpustakaan mulai yang sederhana sampai yang lebih canggih/ Komputer. Tetapi perlu diingat bahwa sistem yang dipergunakan hendaknya yang sederhana mudah dimengerti, baik oleh petugas satu maupun petugas yang lain dan layanannya cepat serta aman bagi perpustakaan. Sistem yang baik yaitu dapatmenunjukkan dengan segera pinjaman yang terlambat dikembalikan dan setiap waktu dapat diketahui siapa yang meminjam buku dan kapan harus dikembalikan karena setiap waktu dapat diketahui siapa yang meminjam buku dan kapan harus dikembalikan. 

Pada prinsipnya sistem peminjaman itu memuat 3 ( tiga ) catatan meliputi :
1. Catatan waktu; yaitu catatan kapan buku itu harus dikembalikan.
2. Catatan tentang buku : buku apa yang dipinjam
3. Catatan peminjam : yaitu siapa yang meminjam buku itu. , 

Sistem peminjaman untuk perpustakaan banyak sekali, mulai sistem buku besar,sistem slip/bon, sistem kantong, sistem kartu, sampai sistem komputer. Untuk Tingkat SLTP dan SLTA terdapat program Komputer yang dinamai Managemen Pustaka dan Perpustakaan Umum Program Pustaka.

A. SISTEM BUKU BESAR :
 Sistem ini menggunakan buku besar, dengan memuat :
 Nomor urut
 Tanggal Peminjaman
 Pengarang buku
 Judul buku
 Tanda buku
 Tanggal Kembali
 Tanda Tangan

 Sistem ini adalah yang paling sederhana, dan hanya cocok untuk perpustakaan yang kecil dan koleksinya masih sedikit.
Contoh :

No. Tgl.
 Pinjam Nama Pengarang Judul Tanda Buku Tanggal
Kembali Tanda Tangan
   
   
   
   
   
   
   


  Cara Peminjaman :

 Tiap peminjam dicatat dalam buku besar menurut abjad nama peminjam (A-Z).Jadi tiap lembar hanya satu nama, tetapi memerlukan beberapa buku besar, namun bisa saja dicatat secara menyeluruh dalam satu lembar, tiap peminjam hendaknya tanda tangan sebagai bukti peminjam. Jika peminjam mengembalikan buku, maka catatan tersebut dicatat oleh petugas dan diparaf.



B. SISTEM SLIP

 Sistem ini adalah peminjaman menggunakan slip kertas lembar, yang berisi :

 Tanggal kembali
 Nomor anggota
 Tanda tangan
 Nama
 Alamat
 Pengarang
 Judul buku
 Tanggal pinjam
 Tanda Tangan









 Contoh:



Tanggal Kembali Nomor Anggota Tanda Buku
Nama : 
Alamat : 
Pengarang : 
Judul : 
Tanggal Pinjam : 
Tanda Tangan : 

 

 Cara Peminjaman :

 Tiap peminjam, mengisi slip ( bon ) sebagai bukti bahwa koleksi tersebut dipinjam. Setelah selesai, maka disusun dalam kotak agar slip-slip tersebut tidak hilang. Apabila peminjam mengembalikan buku maka bon tersebut diberikan kepada peminjam, atau dimusnahkan.

C. Sistem Kantong :

 Sistem kantong adalah peminjaman menggunakan kantong kartu anggota. Setiap anggota akan menerima kantong sesuai dengan ketentuan.




Pada setiap kantong memuat tentang :


 Nomor Anggota
 Nama
 Alamat
 Masa berlakunya


Kantong kartu anggota berfungsi untuk menyimpan kartu buku, pada saat pemakai menggunakan hak pinjamnya.


 











Contoh Sistem kantong
















 


 Cara peminjaman :

 Sistem ini lebih cepat dari kedua sistem tersebut, sebab setelah kartu buku diambil oleh peminjam dan menuliskan identitasnya seperti nomor/ nama dan kapan buku harus kembali, maka kartu buku dimasukkan kedalam kantong dan diserahkan kepada pemiliknya . Apabila kantong ( kartu anggota ) sudah tidak berada dikotak maka anggota tidak punya pinjaman.


  D. Sistem Kartu 

 Sistem kartu hingga saat ini masih dianggap paling baik dari beberapa sistem yang telah diuraikan terdahulu. Perlengakapan yang harus disediakan adalah :

 Kartu anggota
 Kartu peminjam
 Kartu buku
 Kantong kartu buku
 Slip tanggal kembali

 Kartu anggota biasanya memuat : 

 Nomor anggota
 Nama
 Alamat
 Pekerjaan
 Foto

















Contoh kartu anggota :



















 Kartu peminjaman memuat : 

 Nomor anggota.
 Nama
 Alamat
 Pekerjaan
 Tanggal Peminjam.
 Tanda buku.
 Tanggal Kembali.
 Tanda tangan.


 Contoh : Kartu Peminjam
































Contoh : Kartu buku


Nomor No. Induk
Panggil Pengarang Judul Buku




















  Kartu buku bagian belakang:


Nama Kelas Tanggal kembali
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  



Kantong kartu buku memuat :
 Nomor Panggil
 Nama Pengarang
 Judul buku












 Contoh : Kantong Kartu buku

























Slip tanggal kembali :

 Slip tanggal kembali biasanya di tempelkan pada halaman terkahir buku, dengan maksud kapan buku tersebut di kembalikan, sehingga anggota akan mengetahui.


 Contoh : Slip tanggal kembali.



























 Sistem-sistem tersebut di atas sudah mengalami uji coba yang seksama, sehingga lebih aman bagi kita mengadaptasi sistem-sistem ini dari pada membuat sendiri yang mungkin akan menimbulkan hambatan dikemudian hari.


 Label buku :


 Label buku di tempelkan pada punggung buku.






















Contoh : Label buku













  PROMOSI DAN KERJASAMA PERPUSTAKAAN

A. PROMOSI PERPUSTAKAAN :
 
Promosi perpustakaan adalah upaya untuk memperkenalkan perpustakaan sekolah kepada peserta didik dan tenaga pendidik dengan berbagai macam cara agar semua koleksi perpustakaan dimanfaatkan secara maksimal untuk mendukung proses belajar mengajar.

Upaya promosi perpustakaan yang dilakukan untuk memasyarakatkan perpustakaan sekolah antara lain :
1. Memberikan penghargaan kepada setiap siswa yang menggunakan koleksi yang paling banyak;
2. Memberikan penghargaan kepada setiap guru yang menggunakan koleksi perpustakaan untuk memberi tugas kepada siswa;
3. Memperkenalkan perpustakaan sekolah kepada siswa-siswi baru;
4. Menyebarkan daftar buku baru;
5. Mengadakan lomba sinopsis antara siswa dengan menggunakan buku-buku perpustakaan.


B. KERJASAMA PERPUSTAKAAN :

 Kerjasama perpustakaan adalah kegiatan yang dilakukan oleh beberapa perpustakaan untuk mencapai tujuan bersama yang saling menguntungkan. Persyaratan untuk melakukan kerjasama antara lain adanya kesadaran saling membutuhkan, adanya kesamaan untuk mencapai tujuan dengan perlunya pemanfaatan secara optimal sumber daya yang tersedia. Kegiatan kerjasama dapat dilakukan di bidang pengadaan bahan pustaka, pengolahan bahan pustaka, maupun bidang layanan bahan pustaka. Kerjasama ini dapat dilakukan antar perpustakaan sekolah, atau dengan perpustakaan umum serta jenis perpustakaan lainnya.
   
  Bagan Kerjasama Perpustakaan :





















































DAFTAR PUSTAKA



Daryanto (1986). Pengetahuan Praktis bagi Pustakawan; Malang : Bina Cipta.

Douglas, Mary Peacock (1992).Perpustakaan Sekolah dasar dan layanannya. Jakarta : Perpustakaan Nasional RI
Nasution, AS (1980). Perpustakaan Sekolah, penuntun membina : memakai dan memelihara Perpustakaan Sekolah. Jakarta : Pusat Pembina Perpustakaan.
Nurullah, Muhammad ( 1988 ). Diktat kuliah : Pedoman Penyelenggaraan Perpustakaan Umum , Sekolah dan sejenesnya. Mataram : IKIP
Poerwadarminto, W.J.S. (1991). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : balai Pustaka.
Purawijaya, Ipon Sukarsih ( 1998). Kerjasama Perpustaklaan melalui pertukaran tenaga. Yogyakarta tanggal : 22-23 Juli
Soeatminah (1980). Sirkulasi. Yogyakarta : Program Diklat Perpustakaan Sekolah. 
Sulistyo-Basuki (1991). Pengantar Ilmu Perpustakaan. Jakarta : Gramedia.
Sunindyo ( 1975 ). Bimbingan membaca dan Promosi Perpustakaan Sekolah. Jakarta : Departemen P dan K.
Sri Marnodi (1980 ).Referensi Suatu Pengantar. Yogyakarta ; Pusdiklat Perpustakaan IKIP

Sri Sugiarti , Lilik ( 1976 ). Pelayanan / Sirkulasi dan reference. Surakarta : Panitia Penataran Ilmu Perpustakaan. 
Yunus ( 1995 ). Layanan Informasi Bahan Pustaka. Surabaya : Perpustakaan Daerah 
Jawa Timur
---------------( 1985). Kumpulan Kenangan. Lokakarya Pengelolaan Perpustakaan Sekolah tanggal : 17-19 Januari. Jakarta : Klub Perpustakaan Indonesia
----------------(2001).Pedoman Umum Penyelenggaraan Perpustakaan Sekolah. Jakarta : Perpustakaan Nasional RI
----------------Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989, tentang Sistem Pendidikan Nasional





















Pengolahan Bahan Non Buku

Pengolahan Bahan Non Buku


Koleksi perpustakaan menjadi lebih bervariasi dan menarik dengan masuknya berbagai ragam bahan non buku atau non book materials, seperti Film, video, kaset, foto, gambar, poster, peta, microform, disket, CD-ROM, dan masih banyak media lainnya. Informasi dewasa ini dikemas dalam berbagai bentuk. Perpustakaan yang tidak dapat menyediakan informasi dalam bentuk yang paling sesuai dengan bidang subyek dan sifat pemakainya, akan dipandang sebagai kurang sanggup memberi pelayanan yang baik. Untuk itu perpustakaan berupaya mengembangkan koleksi bahan non buku disamping koleksi lainnya.
Pengolahan bahan non buku oleh banyak pustakawan dianggap sebagai tugas yang memberatkan dan lebih rumit bila dibandingkan dengan pengolahan monograf (buku). Untuk tugas pengolahan ini yang diperlukan adalah pengetahuan khusus mengenai bahan dan alatnya. Sebab pengatalog harus mencatat ciri-cirinya dalam deskripsi bibliografi. Staf perpustakaan yang mengolah bahan bukan buku harus mengenal jenis-jenis bahan yang telah ada, dan sekaligus secara teratur mengikuti perkembangan teknologi bahan tersebut.
Berikut akan dijelaskan bagaimana menangani koleksi bahan bukan buku yang meliputi penentuan sistim katalog, bahasa dalam deskripsi, penentuan sumber informasi untuk tiap daerah, apa itu GMD, dan mengenai daerah data khusus, dan lain-lainya.

Sistem Katalog
Hal lain yang perlu pertimbangan adalah tipe katalog yang akan digunakan untuk koleksi perpustakaan yang beraneka ragam medianya. Apakah sebaiknya dibuat katalog terpadu atau integrated. Semua entri katalog disatukan dalam satu katalog tanpa membedakan format bahan, ataukah lebih baik apabila ada katalog untuk monoggraf, dan katalog tersendiri untuk tiap kelompok bahan lain.
Tiap alternatif mempunyai kelebihan dan kekurangannya yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan dengan melihat faktor-faktor seperti komposisi koleksi, tujuan perpustakaan, tipe pemakai, dan kebutuhan mereka.

Deskripsi Lengkap dan Rinci
 Koleksi bahan non buku biasanya dipisahkan dari koleksi buku dan tidak dapat diakses sendiri oleh pemakai. Sistem pelayanan clossed access lebih cocok untuk bahan ini yang pada umumnya mahal dan perlu diperlakukan dengan hati-hati. Untuk bahan seperti itu suatu cantuman bibliografi yang lengkap dan rinci diperlukan. Hanyalah lewat katalog, pemakai dapat memperoleh gambaran tentang isi dan ciri lain dari bahan tersebut.
 Banyak bahan non buku terdiri atas beberapa satuan atau unit, seperti kumpulan slide, kumpulan lagu. Untuk memudahkan pemakai memperoleh informasi yang diinginkan, seharusnya pengatalogan dilakukan pada tingkat satuan terkecil, misal slide, foto, atau lagu. Disamping pada judul kolektif karya tersebut. Tetapi bagi staf perpustakaan, ini merupakan pekerjaan tambahan, dan perlu dipertimbangkan untung ruginya.

Bahasa Deskripsi
Bahasa yang digunakan dalam deskripsi bibliografi adalah bahasa dokumen atau karya yang bersangkutan dan atau bahasa yang digunakan di perpustakaan.
Bahasa dokumen digunakan untuk :
 Daerah Judul dan pernyataan penanggungjawab
 Daerah Edisi
 Daerah Penerbitan, distribusi, dan sebagainya
 Daerah Seri.
Untuk daerah / bidang atau unsur lain digunakan working language atau bahasa perpustakaan / pustakawan.

Pernyataan Jenis Bahan Umum
Unsur kedua dari daerah judul dan pernyataan tanggung jawab adalah mengenai General Material Designation yang disingkat dengan GMD. General Material Designation (GMD) merupakan pernyataan jenis bahan kelompok umum. Istilah-istilah yang digunakan yakni bersifat umum, artinya menyebut kelompok umum dokumen tersebut. GMD merupakan unsur optional. Bandingkan dengan metode lain untuk mengisyaratkan bentuk, misal kode khusus dan kode warna.

Fungsi GMD
 Memberitahu sedini mungkin pada pemakai mengenai format (bentuk fisik) dokumen tersebut.
 Mengisyaratkan pada pemakai bahwa diperlukan alat khusus untuk menggunakannya.
 Menjadi sarana untuk membedakan dokumen dengan judul yang sama tetapi bentuk yang berbeda.

Kelebihan GMD
 Standard
 Searchable

Tempat GMD
Setelah pernyataan judul sebenarnya atau title proper dengan didahului tanda dalam kurung siku.

Daerah Data Khusus
Daerah ketiga dari deskripsi bibliografi adalah daerah yang digunakan untuk data yang hanya berlaku untuk satu jenis bahan pustaka saja. Jadi berupa data khusus yang karena kekhususannya tidak dapat ditampung dalam daerah-daerah lain. Data data khusus mencatat data yang khas bagi satu kelompok bahan atau jenis publikasi tertentu.
Dalam AACR2 daerah data khusus ini digunakan untuk
o Bahan Kartografi (bab 3)----- data matematik
o Musik (bab 5) ------ musical presentation statement
o Berkas Komputer (bab 9) ------ file characteristics
o Terbitan Berkala (bab 12)----- sistim penomoran













Deskripsi Bibliografis














 Deskripsi bibliografi ialah susunan data bibliografi yang disusun secara teratur, sehingga dapat diakses dari berbagai pendekatan. Deskripsi bibliografi yang dikerjakan dalam pengatalogan deskriptif adalah merekam data bibliografis dan data fisik penting lainnya yang diperlukan untuk dapat mengenali suatu dokumen. Dalam kegiatan ini juga ditentukan titik pendekatan non subyek melalui pemilihan tajuk entri.
 Secara ringkas dapat dikatakan bahwa deskripsi bibliografi merupakan proses pengatalogan yang meliputi pengenalan dan penguraian fisik dokumen. Tidak mencakup penguraian subyek dokumen. Hasil deskripsi bibliografi biasanya dituangkan dalam bentuk katalog, yaitu sebuah kartu berukuran 7.5 x 12.5 cm.

Unsur Deskripsi Bibliografi 
Unsur-unsur deskripsi bibliografi meliputi 8 (delapan) daerah / bidang, yakni :
 Daerah Judul dan pernyataan penanggung jawab (title and statement of responsibility area), meliputi; judul sebenarnya, judul paralel dan judul lain, pernyataan penanggung jawab atau kepengarangan.
 Daerah Edisi (edition area), meliputi; keterangan edisi, pernyataan tanggung jawab yang berhubungan dengan edisi
 Daerah data khusus. Yaitu suatu daerah atau bidang yang khusus untuk menyatakan jenis spesifik dari bahan yang dikatalog. Daerah ini digunakan khusus untuk koleksi bahan non buku.
 Daerah Impresum (penerbitan & distribusi) atau publication, distribution, etc. area, meliputi; tempat terbit, nama penerbit, tahun terbit
 Daerah Kolasi (deskripsi fisik) atau physical description area, meliputi; paginasi atau jumlah jilid, keterangan ilustrasi, ukuran, bahan yang diikutsertakan.
 Daerah seri (series area), meliputi; keterangan seri, sub seri, nomor seri
 Daerah catatan (note area), disediakan untuk tambahan keterangan tentang bahan pustaka yang diolah atau diproses.
 Daerah penomoran standar (standard number and terms of availability area), meliputi; nomor standar buku (ISBN), harga.

Sumber Informasi

 Data bibliografi yang dicatat dalam cantuman bibliografi harus diambil dari sumber informasi yang ditentukan oleh peraturan pengatalogan. Untuk tiap kelompok bahan, peraturan pengatalogan menetapkan suatu sumber informasi utama yang menjadi sumber data terpenting. Untuk bahan cetakann seperti buku dan majalah, yang mempunyai halaman judul, hal ini tidak jadi masalah. Lain halnya dengan bahan non buku. Bahan ini tidak berhalaman judul, penyusun atau penanggung jawab lain, tempat terbit, penerbit, dan tahun terbit. Data di komponen atau bagian bahan bukan buku yang dijadikan sumber informasi utama dan tambahan sering sulit ditranskripsikan, seperti misalnya title frames video atau film. Selain itu pada sumber-sumber ini kurang lengkap, atau berbeda-beda.
 Penentuan tajuk entri utama dan entri tambahan didasarkan atas konsep atau prinsip kepengarangan; Siapakah yang dianggap paling bertanggung jawab atas isi intelektual atau artistik karya tersebut. Untuk bahan berupa buku, penentuan ini cukup mudah, sebab bahan tersebut sering hasil usaha berbagai orang atau badan dengan fungsi-fungsi yang berbeda-beda. Tetapi lain halnya untuk bahan non buku. Sering tidak jelas siapa penanggung jawabnya. Oleh sebab itu dikenal dengan apa yang disebut diffuse authorship atau kepengarangan kabur dan tersebar.





















Rekaman Suara











Berbagai bentuk jenis rekaman suara, seperti piringan hitam, CD, pita (berbentuk gulungan atau reel, kaset, kartridge), rekaman suara atas film (kecuali rekaman yang berfungsi sebagai pelengkap gambar hidup). Istilah “rekaman suara” digunakan untuk menyatakan jenis kelompok umum. Jenis medium dinyatakan dalam deskripsi fisik dengan istilah khusus, seperti piringan hitam, kaset suara, gulungan pita suara, selongsong (cartridge) suara, rol piano, rol organ, dan lain sejenisnya.

Sumber Informasi 
Sumber informasi utama untuk jenis bahan ini ditentukan sebagai berikut :
Tipe Sumber informasi
 Piringan (disc) Label
 Gulungan pita (open reel-to-reel) Gulungan pita (reel) dan label
 Kaset Kaset itu sendiri dan label
 Kartridge Kartridge dan label
 Rekaman suara atas film Kemasan dan label

Label yang dimaksudkan di sini adalah label kertas atau plastik dengan keterangan tercetak yang melekat secara permanen dan bukan label yang terdapat pada kemasan.
Jika ada dua atau lebih sumber informasi utama (misal dua label pada satu piringan hitam), sumber-sumber ini diperlakukan sebagai satu sumber utama. Bahan cetakan yang terlampir pada pita rekaman, piringan hitam, dan sebagainya, serta kemasan dapat digunakan sebagai sumber informasi utama apabila pada sumber-sumber itu terdapat judul kolektif dan pada label tidak. Dalam hal seperti ini pada daerah catatan harus disebutkan sumber yang telah digunakan sebagai sumber informasi utama. Jika dari sumber utama tidak dapat diperoleh keterangan yang diperlukan, keterangan diambil dari sumber-sumber di bawah ini dengan urutan prioritas, 1). Lampiran berupa bahan tekstual. 2). Kemasan. 3). Sumber lain
Berikut uraian sumber informasi tiap daerah
  Daerah Sumber
1. judul dan pernyataan penanggung jawab sumber utama
2. edisi sumber utama dan kemasan
3. data khusus (tidak dipakai untuk bahan ini)
4. terbitan, penyaluran (distribusi) sumber utama dan kemasan
5. deskripsi fisik sumber mana saja
6. seri sumber utama dan bahan terlampir
7. catatan sumber mana saja
8. penomoran standar sumber mana saja

























Gambar Hidup 
dan Rekaman Video









Gambar hidup atau motion pictures dan rekaman video atau video recordings meliputi semua jenis film, termasuk film lengkap, kumpulan bagian-bagian film, trailer, film berita dan bahan yang belum disunting.

Sumber Informasi 
Sumber informasi utama bagi gambar hidup dan rekaman video adalah film itu sendiri, yaitu title frames (gambar-gambar yang memuat judul dan keterangan lain) dan kemasan serta label. Jika sumber informasi utama ini tidak memberiinformasi yang dibutuhkan, sumber-sumber berikut dapat dipergunakan dengan urutan prioritas 1). Bahan tekstual terlampir (misal skript, daftar pemotretan, bahan promosi). 2). Kemasan (yang bukan bagian integral). 3). Sumber lain.

Berikut uraian sumber informasi tiap daerah :
  Daerah Sumber
1. judul dan pernyataan penanggung jawab sumber utama
2. edisi sumber utama dan bahan terlampir
3. data khusus (tidak dipakai untuk bahan ini)
4. terbitan, penyaluran (distribusi) sumber utama dan bahan terlampir
5. deskripsi fisik sumber mana saja
6. seri sumber utama dan bahan terlampir
7. catatan sumber man saja
8. penomoran standar sumber mana saja







File Komputer






Deskripsi file komputer meliputi file atau berkas yang dapat dibaca dan diolah oleh komputer, dan mencakup baik data maupun program-program. File ini tersimpan di dalam atau pada media yang memungkinkan akses langsung maupun akses jarak jauh.

Sumber Informasi 
Sumber informasi utama untuk file komputer adalah title screens. Jika tidak ada, informasi yang dibutuhkan diambil dari keterangan yang merupakan bagian integral dari file tersebut, seperti menu utama, keterangan yang merupakan bagian dari suatu program. Jika sumber informasi yang diperlukan tidak dapat diperoleh dari sumber-sumber di atas, informasi diambil dari sumber-sumber lain, menurut urutan prioritas. Dengan tidak dapat diperoleh di sini juga dimaksud tidak dapat diketahui karena tidak tersedia perangkat keras atau peralatan lainnya yang dibutuhkan untuk menampilkan dan membaca file tersebut. Sumber lain yang dapat digunakan, didaftar menurut urutan prioritasnya ;
Pita, disket, atau media lain yang memuat file tersebut atau label-label yang terdapat pada pita, disket, dan sebagainya.
Informasi yang berasal dari penerbit, pencipta, dan sebagainya yang disertakan sebagai bahan terlampir.
Informasi yang tercetak pada kemasan yang dikeluarkan oleh penerbit atau distributor.
Dengan label dimaksud label kertas, plastik dan lain sebagainya yang dilekatkan oleh pencipta, pembuat atau penerbit pada disket, kaset, dan sebagainya dan bukan label yang ditempelkan oleh perpustakaan. Berikut uraian sumber informasi tiap daerah :


  Daerah Sumber Informasi
1. judul dan pernyataan penanggung jawab sumber utama, disket/kaset, atau 
label
2. edisi sumber utama dan bahan terlampir
3. data khusus (tidak dipakai untuk bahan ini)
4. terbitan, penyaluran (distribusi) sumber utama dan bahan terlampir
5. deskripsi fisik sumber mana saja
6. seri sumber utama dan bahan terlampir
7. catatan sumber mana saja
8. penomoran standar sumber mana saja



































Contoh Katalog





Berikut contoh – contoh bentuk katalog bahan non buku yang meliputi peta, rekaman suara, berkas komputer, gambar hidup dan rekaman video.








































































































Sumber Rujukan













 Anglo-American cataloguing rules : 2nd ed. 1988 rev. Chicago : American Library Association, 1988.

 Gorman, Michael. AACR2 ringkas. Jakarta : Pusat Pembinaan Perpustakaan, 1986.

 Maxwel, Margareth F. Handbook for AACR2 1988 rev. Chicago : American Library Association, 1989.

Mirnani, Anon dan Irman Siswadi. Pengolahan bahan non-buku : pust2251/2 sks. Jakarta : Universitas Terbuka, 1996.

 Peraturan Katalogisasi Indonesia : deskripsi bibliografis (ISBD), penentuan tajuk untuk entri, judul seragam. Jakarta : Perpustakaan Nasional RI., 1994

 Sulistyo-Basuki. Materi pokok dasar-dasar dokumentasi. Jakarta : Universitas Terbuka-Depdikbud, 1996.